Â
Molas tetap setia dan teguh dalam setiap komitmen. Ia tidak pernah berhenti berjuang untuk meraih cita-citanya. Hal ini terbukti saat orang tuanya tidak menyetujuinya untuk  melanjutkan sekolah. Hal yang menarik di sini ia tidak pernah menolak secara langsung apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Ia selalu mencari akal supaya orang tuanya selalu meyakinkan dia.Â
Â
Sebenarnya ini sebuah strategi dari Molas agar ia menembusi batas budaya patriarki yang sangat melekat pada waktu itu. pada dasarnya ia ingin menjadi manusia bebas. Bebas untuk melakukan apa saja seperti bebas untuk berekspresi. Bebas untuk berbicara dan bebas untuk menentukan sendiri.
Â
Di tengah perjuangan yang sulit ini, ia berhasil melewatinya dengan cara lari dari rumah hanya untuk mengadu nasib di Ndona (Ende). Kota Ndona  menjadi tempat yang terakhir ia harus berlabuh untuk mengubah cita-citanya menjadi seorang guru. Perjuangannya tidak terlepas dari sahabat karibnya yang mana sahabat karibnya selalu mendukung saat ia mengalami kesulitan.Â
Â
Perlu diketahui bahwa sejarah bukit  Ndona ini, ditemukan sendiri oleh Uskup Petrus Noyen SVD yang di tunjukkan oleh Vatikan menjadi Perfektur Apostolik kepulauan sunda kecil yang jadi diwilayah kegembalaannya membentang dari Bali sampai Timor. Uskup Petrus Noyen SVD juga menjadi uskup pertama untuk daerah ini.
Â
Molas teringat persis ketika ia tidak memiliki cap jempol sebagai tanda persetujuan orang tuannya. Peristiwa ini membuat dia lemah, lesu dan tak berdaya. Ia seperti kehilangan harapan seolah-olah fajar timur di kota Ndona tidak memberi ruang untuknya. Namun, disituasi yang mencekam ini, muncul seorang bernama Katarina yang membantunya agar ia bisa keluar dari situasinya.
Â