Sebagai seorang gembala jiwa, Tuan Pastor tentu mencari domba-domba yang tersesat. Ia selalu menyediakan waktu untuk duduk berjam-jam sambil mendengarkan pengakuan, memberi absolusi, membaptis katekumen, merayakan ekaristi dan memberikan minyak suci.
 Â
Pada saat merayakan ekaristi, ia selalu berkhotbah dengan baik, dan selalu memberi motivasi kepada umat. Â Terutama pentingnya sekolah. Hal ini diungkapkannya "aku bisa datang jauh dari belanda karena sekolah".
Setelah tamatan dari sekolah rakyat, Molas melanjutkan jenjang pendidikannya di sekolah standar. Di sekolah standar ini, ia bertemu dengan bayak temannya dari pelbagai tempat. Hal yang membuat ia terkesan adalah ketika saat ia berjumpa seorang suster. Suster itu selalu memberi motivasi di setiap ia kehilangan harapan. Ia menganggap bahwa suster ini adalah ibu kadungnya.
Di sekolah standar ini, Ia menghabiskan waktunya dengan sukacita. Â Ia tekun belajar, berdevosi, dan mengikuti perayaan ekaristi bersama teman-temannya setiap pagi. Pada masa-masa ini, Gereja Katolik Manggarai masih corak Pra konsili Vatikan kedua. Hal ini dilihat saat ekaristi, iman selalu membelakangi umat.
Dalam perjalanan waktu, cita-cita yang pernah membara dalam dirinya mulai memudar dan sirna. Ia terjebak dalam dilema antara cinta dan keluarganya. Seiring berjalannya waktu, ia semakin merasakan betapa sulitnya menjalani hidup dengan beban yang begitu berat.
Ketika orang tuanya memaksanya untuk berhenti sekolah karena ada seorang laki-laki yang ingin meminangnya, hatinya terasa hancur. Cita-citanya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan mewujudkan impian-impian besar menjadi terhenti di tengah jalan. Ia merasa seperti terperangkap dalam lingkaran kehidupan yang sempit, di mana pilihan-pilihan hidupnya ditentukan oleh orang lain karena sistem patriarki masih kuat.Â
Salah satu konsep budaya Manggarai yang masih melekat pada waktu adalah konsep ata peang (perempuan) dan ata one (laki-laki). Anak laki-laki disebut "orang dalam klan" karena anak laki-lakilah yang akan menjaga keluarga di kampungnya. Sedangkan ata peang (perempuan) disebut orang luar[1] atau tidak dianggap dalam suatu marga.Â
Â
Walaupun di tengah arus budaya yang kuat ini, Â Molas rupanya melawan benteng hegemoni budaya patriarki ini. Â karena menurutnya setiap orang harus mendapat hak dan kebebasan sama baik itu laki-laki maupun perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara.