Mohon tunggu...
Egiwandi
Egiwandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Sapere aude

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kematian Demokrasi Menurut Plato

1 Maret 2023   18:00 Diperbarui: 13 Maret 2024   08:47 1700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Plato adalah  seorang filsuf yang tersohor dalam peradaban dunia filsafat. Banyak karya atau pemikirannya yang masih kita gunakan sekarang khususnya dalam dunia Pendidikan dan pemerintahan. Banyak orang mengatakan bahwa karyanya tidak pernah mati atau hilang dari panggung sejarah manusia karena begitu banyak ide cemerlang untuk peradaban dunia. Ia dikenal sebagai tokoh idealis yang mana segala realitas terpancar dari dunia ide.

Filsuf Plato lahir pada tahun 428 SM dalam suatu keluarga yang terkemuka di Athena. Nama Ayahnya Plato adalah Ariston kemudian meninggal pada saat Plato masih belia. Ibunya bernama Perictione. Sejak ayahnya meninggal ibunya menikah lagi dengan seorang politisi yang terkenal di Athena yaitu Pulolampes. Melalui asupan ayah angkatnya ia sangat berkembang dalam dunia politik.

Semasa kecilnya Plato tumbuh dikala perang peloponnesos pada tahun 431-404 SM.  Pendidikannya sangat diwarnai dengan pergolakkan besar saat sparta mengalahkan militer Athena.  Ia Merupakan murid yang tekun dalam dunia akademik seperti belajar filsafat, puisi, dan politik.  Kemudian ia sangat suka sekali bergabung dalam dunia politik di kota Athena.

Selama masa petualang intelektualnya plato berguru dengan Socrates yang mana menurutnya kunci kebijaksanaan. Ia adalah filsuf yang besar yang pernah hidup di dunia ini. salah satu pemikirannya tentang archae yaitu asas yang pertama dari alam semesta ini adalah Air. Kosep pemikirannya i dipengaruhi oleh tempat tinggalnya  dekat dengan  daerah pesisir pantai.

Salah satu ungkapan yang paling terkenal dari Socrates adalah bahwa ia lebih bijaksana karena ia menyadari bahwa ia tidak bijaksana.[1] Selama hidupnya ia sangat bertentangan dengan kaum sofis yang merasa mereka adalah bijaksana padahal mereka tidak bijaksana sama sekali. Socrates wafat pada tahun 399 SM dengan sangat tragis yaitu disuruh untuk minum racun maut. Kematian Socrates sebagai awal refleksi filsafat plato.

Karia-karia plato

Selama masa hidupnya plato menulis karya tangannya sebanyak 36 buku. Tulisan-tulisannya menyangkut dalam bidang filsafat, etika, metafisika, pemerintahan, dan pemerintahan. Tulisan Plato yang paling terkenal adalah republika.[2] Buku ini berbicara tentang bagimana membanguan pemerintah yang ideal. Menurut Plato bahwa pemerintahan yang baik itu dipimpin oleh kaum Aristokrat. Tentu apa yang diharapkan oleh plato yaitu adalah pemimpin yang baik itu adalah pemimpin yang dipimpin oleh orang yang bijak, baik, dan dipilih dari suatu negara.

 Demokrasi  menurut Plato

Setiap negara pasti mempunyai sistem pemerintahan masing-masing seperti demokrasi, monarki, aristokrasi, dan komunis. Dari berbagai sistem pemerintahan ini, kebanyakan negara-negara dibelahan dunia ini menggunakan sistem pemerintahan demokrasi.  Hal ini dipengaruhi oleh sistem pemerintahan demokrasi dalam politik sangat rapi dan fleksibel. Hemat saya bahwa demokrasi yang baik adalah demokrasi yang siap dikritik, karena kritik itu sebagai fungsi untuk mengaktifkan demokrasi.  Kritik disini sebagai pupuk untuk  untuk menyuburkan demokrasi. Apabila demokrasi yang bertumbuh dengan subur dalam suatu negara. Karena pada dasarnya, kritik sebagai fungsi oposisi dalam demokrasi. 

Kata demokrasi berakar pada kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan. Jadi pengertian secara harfiah dalam tatanan politik yang menjadikan kepentingan rakyat sebagai tolok ukur tertingginya.[3] Yang diharapkan dari demokrasi adalah roh demokrasi itu sendiri yaitu kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Kematian demokrasi

Polis Athena sangat mengagungkan demokrasi, tetapi menurut Plato demokrasi menjadi wabah yang merusak bagi masyarakat. Alasan  Plato tidak menyetujui sebuah negara menganut sistem pemerintahan demokrasi karena  gurunya yang bernama Socrates dibunuh dengan tuduhan palsu. Orang-orang Athena sangat membenci gurunya dan mencari kesalahan untuk menjebloskan dia ke ruang pengadilan dengan berdalih gurunya memberikan gagasan keliru terhadap kaum muda. Salah satu tuduhannya yaitu Socrates bersalah, karena ia tidak percaya pada dewa-dewa yang diakui oleh polis dan memasukan praktik-praktik religius yang baru,”[4]

Saat putusan perkara Socrates berlaku, ia diminta oleh hakim-hakim untuk meninggalkan Kota Athena sebagai pembebasan atau penebusan atas tindakan Socrates. Tetapi Socrates mati-matian untuk menolak tawaran tersebut karena Socrates lebih mencintai kota asalnya Athena. Dalam sidang berlangsung  280 yang menyatakan socrates telah berbuat salah sedangkan 220 yang menyatakan Socrates benar. Berdasarkan aturan sidang orang Athena, suara mayoritas menjadi menjadi penentu keputusan. Hasil dari keputusan para hakim Socrates bersalah dan harus dihukum mati yaitu dengan cara meminum racun di depan para sahabatnya.

Plato melihat situasi ini,  menilai sebegai sebuah kelemahan dan cacat dalam tubuh  demokrasi. Menggunakan cara voting atau hak pilih yang mana keputusan mayoritas menjadi kebenaran mutlak. Bagi Plato suara mayoritas tidak menentukan kebenaran. Ini menjadi momentum yang menyeramkan bagi plato selama hidupnya. Berdasarkan sejarah kota Athena pernah mengalami kehancuran dalam sistem pemerintahan. Di saat situasi ini, Plato berharap untuk pemulihan demokrasi bagi polis Athena tetapi melihat kematian gurunya menjadi sia-sia dalam rezim demokrasi.

Jalan satu-satunya menurut Plato adalah dengan cara mendidik dalam lingkungan academia. Calon pemimpin didik dengan sangat keras dan sungguh dididik. Plato mengungkapkan bahwa untuk menyiapkan calon pemimpin, metode pembelajaran yang digunakan perlu mengarah pada pusat jati diri manusia, yaitu jiwa. Hal tersebut karena jiwa mempunyai karakteristik elastis dan mudah untuk dibentuk. Maka, pendidikan hendaknya memiliki visi yang jelas mengenai cara menyentuh dan mengarahkan jiwa anak didik menuju tujuan dan cita-cita. (A. S. Wibowo, 2017). [5]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun