Mohon tunggu...
Egip Satria Eka Putra
Egip Satria Eka Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Andalas. Padang

Redaktur Seruan.id

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bahayanya Jika Wali Nagari Menjabat 27 Tahun

4 Februari 2023   09:07 Diperbarui: 4 Februari 2023   09:08 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ribuan kepala desa dari beberapa daerah di Indonesia memadati Gedung DPR RI Senayan, Jakarta pada 17 Januari 2023 yang lalu. Dilansir dari Antara.com (23/01/23), ribuan kepala desa yang tergabung dalam Asosiasi Kepala Desa (AKD) ini melakukan unjuk rasa dengan salah satu tuntutannya adalah meminta DPR RI merevisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Mereka menuntut agar masa jabatan kepala desa diperpanjang dari 6 tahun menjadi 9 tahun masa jabatan tiap periodenya.

Tuntutan para kepala desa yang meminta perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun ini tentunya menuai beragam respon dari banyak elemen masyarakat. Banyak yang menolak dan menentang usulan tersebut, namun tidak sedikit juga yang mendukung usulan para kepala desa ini. Diskursus dan perdebatan setelah itu terus bergulir hingga hari ini, mulai dari diskusi-diskusi di warung-warung kopi hingga perdebatan-perdebatan di media-media massa. Dimana yang menjadi inti dari perdebatan tersebut menurut penulis adalah seberapa pentingkah masa jabatan kepala desa ini diperpanjang dan apa dampaknya bagi pembangunan desa.

Jika kita cermati alasan dan pertimbangan para kepala desa mengusulkan perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun ini adalah atas dasar karena waktu enam tahun masih sangat kurang untuk melakukan pembangunan di desa. Para kepala desa ini beralasan bahwa minimal 2 tahun pertama dihabiskan untuk mengondusifkan kembali suasana masyarakat yang sempat terpesah saat kontetasi pemilihan kepala desa.

Dua tahun akhir efektif hanya digunakan untuk mempersiapkan pemilihan kepala desa. Maka, praktis hanya dua tahun yang bisa digunakan untuk melaksanakan program dan visi misi. Dan dua tahun tersebut tidaklah cukup untuk membangun desa dan mensejahterakan masyartakat desa. Maka dari itu, dengan diperpanjang masa jabatan menjadi 9 tahun ini akan memberikan ruang dan kesempatan waktu yang banyak bagi kepala desa untuk membangun desa. Setidaknya begitulah alasan para kepala desa tersebut dalam tuntutanya yang kita baca dari media.

Usulan perpanjangan masa jabatan kepala daerah menjadi 9 tahun ini menurut penulis menarik untuk kita telisik dan kaji lebih dalam. Sebab alasan para kepala desa yang dikemukakan diatas, tentunya tidak serta merta kita langsung mengaminkan usulan tersebut.  Mengingat tuntutan yang disuarakan oleh para kepala desa ini, menurut penulis sarat akan unsur politisnya. Dan secara substantif perlu kita pertanyakan, apakah tuntutan tersebut dapat berdampak baik bagi masyarakat desa atau sebaliknya, akan menjadi “mimpi buruk” bagi kesejahteraan masyarakat desa.

Terlebih lagi tuntutan para kepala desa ini sudah direspon oleh pemerintah dan DPR. Dimana Badan Legislasi dan sebagian anggota fraksi partai politik di DPR mengusulkan agar revisi Undang-Undang (UU) Desa menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2023. Presiden Joko Widodo juga sudah menanggapi masalah itu dengan memberi respons positif. Bahkan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyatakan telah menyiapkan kajian akademik tentang perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut (kompas.id, 29/01/23).

Perihal masa jabatan kepala desa diatur dalam UU. No. 6 tahun 2014 tentang Desa, pada pasal 39 ayat (1) disebutkan, bahwa “Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam)
tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.” Dan pada ayat (2), dinyatakan bahwa kepala desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara
berturut-turut. Maka berdasarkan ketentuan tersebut kepala desa sebenarnya dapat menjabat selama 18 tahun. Dan itu adalah waktu yang cukup lama menurut penulis.

Menurut hemat penulis, perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun memiliki argumentasi yang sangat dangkal dan cacat pikir. Sebab jika dihitung selama 3 periode maka kepala desa dapat menjabat selama 27 tahun. Waktu yang begitu sangat lama. Dan dari analisa penulis, dengan waktu segitu lamanya itu, akan banyak dampak buruknya bagi masyarakat desa dan terutama bagi keberlangsungan demokrasi di desa.

Pada pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan, “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan Prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Desa juga disebut sebagai pemerintahan terendah dan terdepan dalam kerangka NKRI. Dan di Provinsi Sumatera Barat, khususnya di Sumbar daratan (Minangkabau), desa disebut dengan nagari. Maka nagari merupakan pemerintahan terendah yang dijalankan di Sumbar dan kepala pemerintahannya disebut dengan Wali Nagari. Hanya beberapa daerah saja di Sumbar yang menggunakan penamaan desa yaitu kota Pariaman, kota Sawah Lunto dan Kab. Kepulauan Mentawai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun