Ketika dua komunitas dengan latar belakang agama yang berbeda bertemu dalam dialog dan kerja sama, tercipta peluang besar untuk memahami satu sama lain. Ekskursi lintas agama antara umat Muslim dan Katolik di sebuah pesantren adalah contoh nyata dari upaya membangun jembatan pemahaman yang lebih dalam.Â
Dialog semacam ini tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga menciptakan harmoni yang lebih kuat di tengah masyarakat majemuk. Sebagaimana Mahatma Gandhi pernah berkata, "You may never know what results come of your actions, but if you do nothing, there will be no result". Kerja sama lintas agama adalah tindakan kecil yang berdampak besar. Â
Pentingnya Dialog Lintas Agama Â
Di dunia yang semakin terpolarisasi, dialog lintas agama menjadi kebutuhan mendesak. Banyak konflik di masyarakat yang berakar dari kesalahpahaman terhadap perbedaan agama. Dengan menciptakan ruang seperti ekskursi ini, kesalahpahaman dapat diminimalisasi. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam, memiliki peran strategis dalam membangun toleransi.
 Ketika siswa pesantren dan umat Katolik berdiskusi, mereka tidak hanya belajar tentang agama lain tetapi juga melihat persamaan mendasar dalam nilai-nilai kemanusiaan.Â
Dalam proses ini, muncul kesadaran bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan aset. Paus Fransiskus pernah menyampaikan, "Dialog adalah jembatan: Tidak ada perjanjian damai yang dapat diraih tanpa dialog". Pesan ini menegaskan pentingnya keterbukaan dalam menjalin komunikasi lintas iman. Jika dialog dilakukan dengan hati terbuka, rasa saling curiga bisa berubah menjadi rasa saling percaya. Â
Sebuah Hari di Ekskursi Â
Ekskursi lintas agama di pesantren itu dimulai dengan sesi perkenalan. Para siswa pesantren menyambut hangat kelompok ekskursi kami yang datang. Suasana sempat canggung, namun perlahan mencair ketika seorang santri memulai memperkenalkan dirinya sekaligus pengalaman-pengalaman dia setiap hari di pesantren. Di sisi lain, kami juga memperkenalkan diri kami.Â
Mulai dari latar belakang kami dari Kanisius, bagaimana kami bersekolah dan belajar. Kami bersama para santri juga membahas beberapa kenakalan kami saat bersekolah. Kami juga bertukar pendapat tentang agama kami masing-masing. Tawa dan senyuman mulai terlihat, menunjukkan bahwa interaksi semacam ini tidak hanya soal agama, tetapi juga tentang hubungan manusiawi. Kami selama di Pesantren mengikuti beberapa kegiatan yang harus diikuti para santri.
 Mulai dari bangun pagi hingga mengikuti kegiatan solat mereka di pesantren ini. kami juga membiasakan diri untuk menutupi aurat dikarenakan peraturan dari peseantrennya begitu. Kami juga diajak keliling melihat pesantrennya. Pesantren yang kelompok kami tinggal adalah Pondok Pesantren Daruul Ulum Lido. Setiap sorenya kami mengikuti kegiatan mengaji bersama.Â
Kami dibagikan beberapa kelompok untuk mengaji bersama dan belajar bersama mereka. Saat itu saya bersama Tepan tidak disuruh untuk mengaji, kami hanya sharing-sharing tentang bagaimana agama kami berjalan, mulai dari alkitabnya dan cara kami membaca alkitab tersebut. Setelah itu hari esoknya kami diajak untuk belajar bersama, jadi kami memasuki kelas-kelas untuk melihat para santri belajar.Â
Ternyata mereka ada yang memakai bahasa arab dalam pelajarannya untuk belajar. Setelah itu kami menyusuri sungai sebagai kegiatan terakhir kami dan pada hari Jumat kami hanya melakukan pentas di depan kiyai dan para guru pebimbing kami, akhirnya kami pulang dan bersenang-senang saat kegiatan ekskursi kami berlangsung dengan baik.Â
Keindahan Toleransi di Pesantren Â
Pesantren, dengan suasana asri dan penuh kedamaian, menjadi tempat ideal untuk dialog lintas agama. Pohon-pohon rindang di halaman pesantren menjadi saksi interaksi yang damai antara dua kelompok ini. Suara lantunan ayat suci Al-Qur'an yang bergema di waktu subuh berpadu dengan keheningan doa umat Katolik di kapel sederhana yang mereka dirikan sementara.Â
Ruang diskusi dihiasi dengan senyum dan gelak tawa, jauh dari kesan formal atau kaku. Mata para peserta berbinar saat mereka mendiskusikan nilai-nilai universal seperti cinta, pengampunan, dan kepedulian sosial. Dalam suasana seperti ini, dinding-dinding perbedaan agama seolah runtuh, digantikan oleh jembatan pemahaman yang kokoh. Â
Belajar dari Pengalaman Â
Pengalaman serupa telah dilakukan di berbagai belahan dunia. Salah satu contohnya adalah program "Interfaith Youth Core" di Amerika Serikat yang sukses memfasilitasi kerja sama lintas agama di kampus-kampus. Program ini membuktikan bahwa dialog lintas agama tidak hanya efektif dalam menciptakan pemahaman, tetapi juga melahirkan proyek sosial yang bermanfaat bagi masyarakat luas.Â
Di Indonesia, ekskursi lintas agama seperti ini perlu terus dikembangkan. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan tokoh agama harus berkolaborasi untuk menciptakan lebih banyak ruang dialog. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), "Tidak penting apa pun agamamu atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu."Â
Ekskursi lintas agama bukan hanya sekadar kegiatan, tetapi sebuah langkah menuju masa depan yang lebih damai. Dengan saling memahami dan menghormati, kita dapat menciptakan Indonesia yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H