Mohon tunggu...
Egia Astuti Mardani
Egia Astuti Mardani Mohon Tunggu... Guru - Pejalan

Pendidik yang Tertarik pada Problematika Ummat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Makin Dibatasi, BBM Bersubsidi Riwayatmu Nanti

7 Juli 2022   23:38 Diperbarui: 8 Juli 2022   01:09 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rating rendah di aplikasi MyPertamina. Dokpri

Sejak sosialisasi mekanisme baru pembelian BBM bersubsidi dengan aplikasi MyPertamina, publik heboh menunjukkan ketidaksepakatannya. Kebijakan ini dinilai mempersulit rakyat untuk memperoleh BBM murah yakni Pertalite dan Solar yang selama ini dijadikan tumpuan masyarakat kecil. 

Belum lama setelah diluncurkan, aplikasi MyPertamina mendapat rating rendah, yakni 1,3 dari 5. Ribuan warganet meninggalkan berbagai ulasan negative. Rata-rata mengaku kesulitan saat menggunakan aplikasi tersebut (Kompas.com).

Di saat yang sama, akses terhadap pertamax masih dipermudah. Haruskah rakyat cilik banting setir ke Pertamax yang harganya lebih mahal? Tidak heran jika akhirnya banyak yang mencurigai kebijakan ini menjadi awal penghapusan Pertalite, sebagaimana Premium yang telah menghilang beberapa waktu lalu.

Alasan Pemerintah

Pemerintah berkali-kali menegaskan bahwa BBM bersubsidi harus tepat sasaran. Dilansir dari bisnis.com, Direktur BBM BPH Migas Patuan Alfon Simanjuntak mengatakan petunjuk teknis anyar itu diperlukan untuk memastikan konsumsi BBM bersubsidi tepat sasaran di tengah masyarakat. Alasannya, tren konsumsi BBM bersubsidi belakangan meningkat drastis di tengah momentum pemulihan ekonomi nasional dan disparitas harga yang cukup lebar dengan BBM non-subsidi.

Lebih lanjut, pemerintah juga berdalih kebijakan ini bertujuan untuk menjaga ketahanan APBN di tengah tekanan harga minyak mentah dunia yang masih fluktuatif di pertengahan tahun ini. Menkeu Sri Mulyani memaparkan bahwa dalam APBN 2022, pemerintah memang menambah alokasi subsidi pada BBM dan LPG, yaitu total Rp401,8 triliun. Dengan demikian, pemerintah berkesimpulan bahwa konsumen BBM bersubsidi harus diperketat sasarannya.

Bukan Sekadar Masalah Aplikasi

Photo by Kyle Bushnell on Unsplash 
Photo by Kyle Bushnell on Unsplash 

Seorang ahli ekonom, Muhammad Hatta, dalam sebuah forum diskusi menyampaikan bahwa sesungguhnya permasalahan mendasar yang kita hadapi bukan sekadar penggunaan aplikasi agar BBM tepat sasaran. Permasalahan utama yang sebenarnya mengancam kita adalah adanya liberalisasi migas yang semakin menggila di negeri ini.

Fahmy Radhy, pengamat ekonomi dan energi UGM, menyatakan dalam tulisannya bahwa salah satu akar masalah pengelolaan migas kita adalah tergerusnya kewenangan negara dalam pengelolaan ladang minyak yang selama ini dikuasai Perusahaan Asing. 

Tidak hanya sektor hulu saja, secara pelan tetapi pasti pengusahaan di sektor hilir pun juga terancam dikuasai oleh Perusahaan Asing. Dominasi perusahaan asing yang menguasai ladang migas di Indonesia menyebabkan negara cenderung kehilangan kontrol dalam pengelolaan migas.

Saat ini, memang Pertamina masih menguasai penjualan BBM di sektor hilir. Namun, jika subsidi dihilangkan dan konsumsi BBM bersubsidi dikurangi, bukan tidak mungkin perusahaan asing akan merambah sektor ini. Fahmy Radhy menambahkan bahwa nafsu perusahaan asing atas penjualan BBM di sektor hilir dapat dilakukan dengan modus yang hampir serupa dalam penguasaan di sektor hulu. Artinya, penguasaan hilir pun juga bisa dilakukan secara sistemik dan legal.

Melalui Peraturan BPH Migas No. 07/2005 Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengolahan dan Usaha Niaga dapat masuk ke usaha penyediaan dan pendistribusian BBM. Sejak diberlakukannya peraturan itu, Perusahaan Asing berusaha keras untuk masuk ke sektor retail BBM. Beberapa Peurasahan Asing yang sudah membangun SPBU di Indonesia, di antaranya Shell, Total Oil, Petronas.

Kapitalisme Ancaman Nyata  

Dalam negara yang menerapkan kebijakan liberal-kapitalistik, subsidi untuk rakyat sebisa mungkin harus dihapuskan. Sebab, dalam logika kapitalisme, peran negara harus diminimalkan hingga sekadar menjadi regulator antara swasta dan rakyat. Artinya, sejak awal subsidi terhadap bahan bakar memang mau dihapuskan, sehingga akan dicari alasan agar subsidi tidak terlalu membebani negara.

Padahal, jika dibandingkan anggaran untuk bayar utang, anggaran untuk subsidi kalah jauh. Hatta menegaskan bahwa yang membebani APBN justru anggaran untuk membayar utang beserta bunganya yang mencapai 48% dari penerimaan APBN. Logika 'subsidi untuk rakyat adalah beban' adalah logika khas kapitalisme.

Logika kapitalisme ini bersambut dengan sistem pemerintah demokrasi yang meniscayakan adanya politik transaksional antara pengusaha dan penguasa. Jangan heran bila regulasi yang disahkan penguasa seiring dengan kepentingan pengusaha pemilik modal. Lagi-lagi rakyat kecil dikorbankan.

Butuh Solusi Sistemik

Indonesia sedang berjalan sesuai arahan kapitalisme dengan berbagai kebijakan berbau liberalisasi migas yang amat menyengat. Karenanya, kekayaan yang dimiliki negara ini tidak dapat dinikmati oleh rakyat kita sendiri dengan harga yang murah. 

Andai saja pengelolaan migas bukan diatur berdasarkan nafsu kapitalisme, melainkan berdasar syariat, insyaaAllah keberkahan akan didapat. Dalam perspektif syariat Islam, penguasaan migas oleh swasta (apalagi asing) hukumnya haram. Negara wajib mengelola migas dan mengembalikan kepada rakyat dengan harga murah.

Soal subsidi, Islam memandang bahwa subsidi bukan dimaknai pemberian negara yang membebani APBN, melainkan sebagai tanggung jawab negara. Negaralah yang menjamin kebutuhan rakyatnya, termasuk BBM murah. Bukan hanya BBM, kebutuhan pokok lainnya, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, pendidikan, semua dijamin negara.

Kebijakan ini didukung oleh sistem ekonomi Islam, salah satunya keberadaan Baitul mal. Pos-pos pengeluaran negara pun diprioritaskan untuk kemaslahatan umat. Alokasi belanja akan mengenal prioritas sehingga pembangunan infrastruktur akan sangat memudahkan rakyat menjalani kehidupannya. 

Pembangunan sekolah, jembatan antardesa, dan sejumlah fasilitas umum, tentu akan diprioritaskan. Sementara itu, pembangunan infrastruktur jalan tol atau transportasi lainnya yang dirasa tidak urgen tidak akan dipaksakan, apalagi sampai harus berutang.

Negara ini harus berbenah jika tidak ingin terperosok lebih jauh akibat kapitalisme yang meniscayakan liberalisasi migas, serta agar kekayaan negeri yang gemah ripah loh jinawi ini tidak berakhir ke kantong segelintir orang, apalagi asing. Rakyat negeri ini berhak hidup makmur di tanahnya sendiri dalam pengaturan sistem hidup yang melahirkan keberkahan dunia akhirat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun