Mohon tunggu...
Egia Astuti Mardani
Egia Astuti Mardani Mohon Tunggu... Guru - Pejalan

Pendidik yang Tertarik pada Problematika Ummat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perkara Kritik "King of Lip Service": Demokrasi Terdegradasi atau Terlucuti?

2 Juli 2021   10:05 Diperbarui: 2 Juli 2021   18:44 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

                Kasus pembungkaman mahasiswa pengkritik rezim merupakan satu dari sekian fakta bahwa tindakan represif penguasa adalah nyata. Berbagai peristiwa serupa menunjukkan pola bahwa segala tindakan yang mengancam eksistensi rezim siap-siap 'kena semprit'. Kalau sedang beruntung, hanya kena 'kartu kuning', kalau buntung, langsung di-sleding 'kartu merah'. Hal ini bukan sekadar mengindikasikan bahwa demokrasi telah terdegradasi, melainkan menampakkan kepada kita wajah asli demokrasi itu sendiri. Demokrasi terlucuti.

Islam dan Hak Aspirasi Rakyat

Dari paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa oligarki politik dalam sistem demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Kekeliruan mendasar sistem ini adalah ketika dilepasannya peran wahyu dari politik (pengaturan kehidupan manusia). Lantas adakah sistem yang benar-benar mewujudkan cita-cita aspirasi rakyat?

Sejarah mencatat bahwa peradaban barat yang sekuleristik bukan peradaban pertama yang pernah menguasai dunia. Jauh sebelum kemunculan peradaban barat yang melejit dan mendominasi dunia dengan sekulerisme-demokrasinya, ada peradaban lain yang sempat menguasai dunia dalam jangka belasan abad lamanya. Ialah peradaban Islam yang dimulai sekitar abad 7 Masehi, dengan didirikannya daulah Islam oleh Rasulullah saw di Madinah, hingga sekitar abad 18 masehi yang ditandai dengan keruntuhan Khilafah Utsmani di Turki.

Peradaban yang bertahan selama belasan abad ini merupakan peradaban ini yang berangkat dari konsep dasar menjadikan aturan Allah (syariat Islam) sebagai sumber utama pengambilan kebijakan negara, bukan akal manusia semata. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-A'raf ayat 54 dan Al maidah ayat 50.

"Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam."
(QS al-A'rf: 54)

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS al-M'idah: 50)

Demikian seharusnya kaum muslim memperlakukan syariat yang Allah turunkan. Bukan hanya menghafal lafadznya maupun mempelajarinya, tetapi juga menerapkannya secara kaffah  (menyeluruh) dalam rangka mengatur kehidupan manusia dalam segala lingkup kehidupan, baik lingkup individu, keluarga, masyarakat hingga negara.

Dalam Islam, kekuasaan (politik) bukanlah alat untuk mempertahankan bahkan mengangkat kepentingan individu maupun kelompok tertentu. Kekuasaan adalah amanah yang tidak boleh disia-siakan karena pertanggungjawaban yang berat di baliknya. Siapapun yang ditunjuk menjadi pemimpin umat bertanggungjawab terhadap rakyatnya. Pertanggungjawaban itu tidak berakhir di dunia, tetapi akan dimintai hujjah hingga akhirat. Artinya, neraca surga dan neraka sangat diperhitungkan dalam peradaban ini, bukan sekadar untung dan rugi.

Sekalipun kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah SWT, suara rakyat sangat diperhitungkan dalam peradaban Islam. Aspirasi rakyat tidak dianggap sebagai angin lalu atau nyanyian sendu yang hanya lewat saja. Khalifah Umar bin Khattab ra. yang bergelar amirul mu'minin pernah menunjukkan hal ini. Kala itu ketika Khalifah Umar ra. tengah 'blusukan' ke pemikiman warga, beliau mendengar ada rakyat yang kelaparan. Dengan tergopoh-gopoh, beliau memanggul sendiri sekarung gandum, membawanya ke hadapan rakyatnya bahkan memasakkannya sendiri. Begitu juga salah satu fragmen Khalifah Umar bin Khattab ra. ketika menerima aspirasi dari seorang muslimah (Asy-Syifa) ketika beliau mengambil kebijakan pembatasan mahar. Dengan rendah hati beliau mengakui kekeliruannya dan menerima argumentasi dalil yang disampaikan muslimah tersebut.

  Dengan demikian, apabila kita memimpikan penguasa yang terbuka menerima kritik dan aspirasi dari rakyat, sistem demokrasi bukanlah sistem yang layak kita pertahankan. Sejuta kritik pun dilayangkan, bila sistem yang melandasi negeri ini masih sistem hari ini (sekulerisme-demokrasi), kasus-kasus 'pembungkaman' pasti akan terus terjadi. Mari membuka mata pada solusi lain yang membawa keberkahan dan kesejahteraan bagi negeri ini. Akhiri sekulerisme-demokrasi, mari ber-Islam kaffah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun