Pemuda, sosok yang selalu dielu-elukan dan terkesan memiliki kharisma dan citra positif bagi banyak orang. Sebutan pemuda seakan memberikan energi harapan bagi banyak orang, karena citra pemuda melekat sebagai orang-orang yang revolusioner dan dapat menjadi tumpuan harapan perbaikan atas kondisi masyarakat dan negara.
Kembali berkaca ke masa lalu bahwa dalam banyak sejarah, peran serta pemuda dalam perjuangan kemerdekaan sebuah bangsa pasti sangat dominan dan memiliki nilai strategis dan tidak bisa dikesampingkan.Â
Sayangnya, pemuda yang diharapkan akan menjadi agen perubahan, menjadi harapan keluarga dan bangsa, merupakan para calon pemimpin masa depan, tidak sedikit yang berada dalam lingkaran konflik.
Bahkan dalam lingkup pendidikan, keterlibatan para pemuda telah dimulai saat mereka memasuki masa remaja dan itu ikut membentuk karakter mereka di kemudian hari misalnya kasus perundungan dan tawuran antar pelajar.Â
Selain itu, konflik kekerasan di usia muda bisa disebabkan karena dorongan solidaritas, ideologi, cinta dan lain sebagainya.
Selama ini, konflik kerap dipahami disebabkan karena adanya kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan. Padahal, konflik bisa disebabkan oleh banyak faktor misalkan perbedaan pendapat, kesalapahaman, terpengaruh orang lain, tersulut hoaks dan lain sebagainya.Â
Konflik bisa terjadi antar individu dan juga kelompok. Tidak hanya berimbas memunculkan situasi yang tidak kondusif, masyarakat yang saling bersitegang, konflik bisa ikut memicu keributan yang meluas dan memancing emosi banyak orang untuk terlibat.Â
Konflik yang tidak hanya terjadi dalam bentuk adu mulut tapi juga dalam bentuk kekerasan dan bisa menyebabkan kerusakan hingga korban jiwa. Konflik tidak memandang strata sosial atau bahkan umur, siapa saja bisa ikut terlibat baik sebagai aktor ataupun korban.Â
Konflik kadang berhenti, tapi tidak menutup kemungkinan akan muncul tersulut kembali jika ada pemantiknya. Emosi yang terpancing, kesalahpahaman dan dendam bisa memicu konflik yang sudah selesai kembali mencuat dan naik ke permukaan. Bahkan, narasi pemberitaan termasuk pemberitaan sebuah konflik bisa ikut menjadi unsur pemicu konflik berkepanjangan.
Jumat, 19 Juli 2019 di Lt. 4 Ruang Serbaguna Perpustakaan Nasional, diadakan Diskusi dan Bedah Buku "Pemuda di Lingkaran Konflik Kekerasan". Â Diskusi dihadiri oleh para Narasumber yaitu Zaenal Muttaqin (Peneliti LP3ES), Wariki Sutikno (Direktur Politik dan Komunikasi Bappenas), Leo Agustinus (Akademisi FISIP Unitirta) dan Radhar Panca Dahana (Budayawan).
Zaenal Muttaqin, Peneliti LP3ES, menyampaikan bahwa buku tersebut merupakan hasil penelitian para peneliti muda yang selama dua tahun telah digembleng dan diberikan pelatihan. Ada tiga kota yang menjadi objek penelitian yang kasusnya diangkat dalam buku tersebut  yaitu Jakarta, Makassar dan Jayapura.
Menurutnya, hampir semua konflik yang melibatkan pemuda merupakan konflik simbolis yaitu memperebutkan identitas. Misal tawuran. Perebutan simbolis. Konflik yang sebelumnya berkarakteristik konvensional, ternyata telah bertransformasi dengan melahirkan konflik yang medianya dalam ikut melibatkan teknologi yaitu konflik media sosial. Transformasi ini tentu akan terus mengalami eskalasi karena  batasan geografis konflik menjadi hilang dan bisa menyebabkan konflik itu meluas.
Meski ada perkembangan, Cahyo Pamungkas dari LIPI pada bagian awal buku itu memberikan peringatan bahwa konflik konvensional yang dilatarbelakangi oleh kesenjangan sosial dan ekonomi serta persaingan memperebutkan sumber daya ternyata masih ada dan bisa meledak sewaktu-waktu. Â
Menyikapi konflik yang terjadi di Indonesia, Radhar Panca Dahana, seorang Budayawan dengan tegas menyatakan bahwa konflik yang terjadi di Indonesia tidak ada yang berbasis etnik, ras atau agama  Kalau tiba-tiba ada, itu karena  ada pemain yang bermain di belakangnya yang menggunakan isu-isu itu  sebagai amunisi dan kepentingan untuk memperoleh sesuatu.Â
Temuan penelitian yang tersaji dalam buku "Pemuda di Lingkaran Konflik Kekerasan" tentu memprihatinkan dan membuat mata kita terbuka untuk memikirkan agar konflik kekerasan yang melibatkan pemuda harus dicegah dan diatasi. Semoga, para pemuda Indonesia bisa terhindar atau keluar dari lingkaran konflik kekerasan. Jangan sampai mereka ikut menjadi dalang, aktor atau korban dari konflik kekerasan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H