Zaenal Muttaqin, Peneliti LP3ES, menyampaikan bahwa buku tersebut merupakan hasil penelitian para peneliti muda yang selama dua tahun telah digembleng dan diberikan pelatihan. Ada tiga kota yang menjadi objek penelitian yang kasusnya diangkat dalam buku tersebut  yaitu Jakarta, Makassar dan Jayapura.
Menurutnya, hampir semua konflik yang melibatkan pemuda merupakan konflik simbolis yaitu memperebutkan identitas. Misal tawuran. Perebutan simbolis. Konflik yang sebelumnya berkarakteristik konvensional, ternyata telah bertransformasi dengan melahirkan konflik yang medianya dalam ikut melibatkan teknologi yaitu konflik media sosial. Transformasi ini tentu akan terus mengalami eskalasi karena  batasan geografis konflik menjadi hilang dan bisa menyebabkan konflik itu meluas.
Meski ada perkembangan, Cahyo Pamungkas dari LIPI pada bagian awal buku itu memberikan peringatan bahwa konflik konvensional yang dilatarbelakangi oleh kesenjangan sosial dan ekonomi serta persaingan memperebutkan sumber daya ternyata masih ada dan bisa meledak sewaktu-waktu. Â
Menyikapi konflik yang terjadi di Indonesia, Radhar Panca Dahana, seorang Budayawan dengan tegas menyatakan bahwa konflik yang terjadi di Indonesia tidak ada yang berbasis etnik, ras atau agama  Kalau tiba-tiba ada, itu karena  ada pemain yang bermain di belakangnya yang menggunakan isu-isu itu  sebagai amunisi dan kepentingan untuk memperoleh sesuatu.Â
Temuan penelitian yang tersaji dalam buku "Pemuda di Lingkaran Konflik Kekerasan" tentu memprihatinkan dan membuat mata kita terbuka untuk memikirkan agar konflik kekerasan yang melibatkan pemuda harus dicegah dan diatasi. Semoga, para pemuda Indonesia bisa terhindar atau keluar dari lingkaran konflik kekerasan. Jangan sampai mereka ikut menjadi dalang, aktor atau korban dari konflik kekerasan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H