Keberagaman Sebagai Anugerah Bagi Indonesia
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia merupakan negara yang majemuk. Masyarakatnya terdiri dari beragam latar belakang yang berbeda.Â
Ada begitu banyak suku, bahasa, adat-istiadat, budaya dan agama yang kesemuanya dapat bersatu hidup dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keragaman yang ada itu merupakan anugerah yang Tuhan berikan kepada bangsa ini. Â Meski dengan latar belakang yang berbeda-beda, semua memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Termasuk hak memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan yang dianut.
Senyatanya, masyarakat Indonesia yang multikultur telah hidup berdampingan dengan baik sejak dahulu kala. Â Sikap saling menghormati, menghargai, tolong-menolong, memberikan kebebasan kepada orang lain untuk beribadah sesuai keyakinannya, dan bekerja sama dalam kehidupan bermasyarakat merupakan warisan luhur dari para pendahulu yang terus dijaga dan dilestarikan.
Akan tetapi, kedamaian dan kemanusiaan yang telah terbentuk itu acap kali dirusak oleh orang-orang yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan. Menebar prasangka, mempermasalahkan perbedaan, menyalahkan orang yang tidak sama dengannya, bahkan menyulut api permusuhan.
Padahal, agama tidak mengajarkan para pemeluknya untuk bermusuhan, Â menindas, apalagi saling membunuh. Â Agama sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian.
Maraknya tindakan intoleransi dan aksi terorisme yang selalu saja dikaitkan dengan perbedaan agama, menjadi keprihatinan bersama semua elemen bangsa. Â Bangsa yang harusnya tetap bersatu, hidup harmonis dan damai menjadi penuh dengan rasa mencekam dan ketakutan. Kehidupan beragama menjadi tidak baik karena muncul rasa saling curiga.
Dalam rangka HUT Paroki yang ke-66 dan mengisi Tahun Persatuan Keuskupan Agung Jakarta, Gereja St. Paskalis mengadakan kegiatan ‘Sambung Rasa Anak Bangsa' dengan menghadirkan beberapa pemateri yaitu Alissa Wahid Qotrunnada (Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Indonesia), Dr. H. Abdul Mu’thi (Sekretaris Umum PP Muhammadiyah), Romo Agustinus Ulahayanan (Sekretaris Eksekutif Komisi HAK-KWI), dan Romo Felix Supranto (Praktisi Kerukunan Umat Beragama, Tangerang).  Kegiatan ini dipandu oleh Prof. Dr.  Paulus Wiratomo (Sosiolog dan Guru Besar UI).
Kaitannya dengan anugerah keberagamaan bangsa Indonesia, Romo Agustinus mengibaratkan bangsa ini seperti taman, yang di dalamnya terdapat beragam jenis bunga yang berwarna-warni. Tidak akan indah taman itu jika hanya ditanami satu jenis tanaman saja. Keindahan yang telah ada perlu dijaga dan dipelihara dengan baik.
Ia juga melanjutkan bahwa budaya kekitaan harus dijaga dengan baik.  Romo mencontohkan bahwa masing-masing kata memiliki pasangannya misalnya kata 'saya' pasangannya 'kami', kata 'dia' pasangannya 'mereka', kata 'engkau' pasangannya 'kamu', tapi kata 'kita' tidak memiliki pasangannya. Karena sesungguhnya kata 'kita' telah mencakup semua kata itu. Gagasan ini menurutnya terinspirasi dari pernyataan Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin.Â
Budaya kekitaan ini dapat dikembangkan dengan sembilan cakupan yaitu budaya kehidupan, budaya kemajemukkan, budaya inklusivitas, budaya solidaritas, Â budaya toleransi, budaya persaudaraan, budaya dialog, budaya kebenaran dan budaya kasih. Budaya ini dapat dimulai pada lingkup keluarga, sekolah, organisasi/komunitas keagamaan, organisasi/komunitas non-keagamaan dan masyarakat.
Hilangkan Prasangka dan Tumbuhkan Pikiran Positif
Konflik tercipta karena adanya kesenjangan, ketidak adilan dan kesalahpahaman. Kecurigaan kepada orang lain atau kesalahpahaman dapat membuat seseorang dapat melakukan tindakan yang di luar dugaan.Â
Kecurigaan yang berlebihan akan melahirkan prasangka buruk yang selalu menyelimuti benak dan pikiran. Jika rasa curiga sudah bertemu dengan kesalahpahaman maka konflik akan dapat mudah terjadi.Â
Saat terjadi kesalahpahaman, menutup diri dan tidak melakukan klarifikasi dapat menambah masalah menjadi semakin membesar.
Menurut Alissa saat ini  kita  mudah untuk menuntut orang lain memahami kita tapi kita tidak mau memahami orang lain.
Ketika agama kerap kali dihubungkan dengan berbagai aksi yang dilakukan oleh kaum radikal, menurut Alissa pada semua agama terdapat kelompok radikal dan semua kelompok mayoritas memilikinya. Oleh sebab itu, radikal tidak melekat pada agama, tetapi melekat pada adanya mayoritas-minoritas. Â
Karena adanya perkembangan globalisasi menurut Alissa muncul perasaan terancam dan merasa takut yang dirasakan oleh kelompok-kelompok sosial masyarakat maupun agama.  Maka muncul reaksi ingin menjaga kemurnian kelompoknya dan ingin berkuasa atau mendominasi karena takut dikalahkan. Karena ketakutan ini pula muncul gerakan populisme di Indonesia.
Sikap intoleran ini kemudian memunculkan sikap mayoritanianisme yaitu menganggap sebagai pihak yang paling berhak atas segala sesuatu dan menganggap yang lebih rendah sebagai minoritas.Â
Saat populisme ini bertemu dengan politik, Alissa menganggapnya sebagai kesialan karena politik merupakan kontestasi untuk mendapat kekuasaan. Jika yang digunakan dalam politik adalah mayoritanianisme, maka sentimen mayoritas -minoritas yang akan ditonjolkan. Kondisi ini menjadi tantangan tidak hanya di Indonesia saja, di Asia sendiri, populisme ini muncul dalam bentuk mayoritanianisme agama.Â
Sikap keberagamaan yang ekslusif harus berubah menjadi inklusif. Â Tidak lagi menaruh curiga kepada orang lain atau kelompok tertentu. Â
Dalam kehidupan beragama semua agama punya hak yang sama untuk berkembang di negeri ini. Semua umatnya juga diberikan hak untuk menjalankan keyakinannya itu.Â
Selalu berpikir positif dan jauhi prasangka apalagi memfitnah tanpa bukti. Bisa jadi kebencian yang melanda kehidupan umat beragama hanya kesalahpahaman yang dapat diselesaikan dengan klarifikasi dan dialog
Saling Mengenal dan Mengikat Persaudaraan
Konflik dan ketidak harmonisan selain disebabkan oleh prasangka dan pikiran negatif, juga disebabkan karena kita belum saling mengenal.Â
Karena tidak saling mengenal bahkan tidak mengetahui latar belakang seseorang atau ajaran agama orang lain, kesalahpahaman itu bisa saja muncul. Sikap ini akan semakin parah jika kesalahpahaman itu tidak dirubah dengan cara mengklarifikasi atau mencari tahu keberanan yang sesungguhnya.Â
Untuk itulah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, kita harus dapat bersosialisasi dengan baik dan mengenal dengan baik lingkungan dan warga sekitar. Perkenalan ini dapat terbangun dengan melakukan perjumpaan yang berkesinambungan.Â
Menurut Abdul Mu'ti, perjumpaan itu bisa terjadi jika yang berperan adalah perasaan bukan pikiran. Perjumpaan menunjukkan adanya kesamaan perasaan kita pada ruang atau waktu yang sama. Â Dengan sering berjumpa ada banyak hal yang dapat digali. Dan agar terbangun rasa keindonesiaan, kita perlu mendorong perjumpaan yang bersifat alamiah dengan semangat menghidupkan kultur harmoni yang sudah dimiliki bangsa ini.
Bergaul dengan siapapun dengan latar belakang yang beragam termasuk perbedaan agama akan menjadikan wawasan dan cara berpikir kita menjadi luas dan moderat.Â
Romo Felix sendiri menekankan agar tidak terjadi kesalahpahaman, perbanyaklah silaturahmi kepada siapapun agar kita dapat menunjukkan yang sebenarnya dan orang lain dapat mengenal lebih dalam diri kita. Silaturahmi dapat menjadi media untuk mengklarifikasi di saat terjadi kesalahpahaman juga menjadi media untuk menambah persaudaraan.Â
Saya dapat menyaksikan secara nyata dan merasakan secara sadar bagaimana wujud kerukunan dan toleransi yang dimiliki bangsa ini. Para panitia dengan penuh antusias mempersiapkan acara sebaik mungkin, menyediakan menu takjil bagi umat Muslim dengan baik, tidak segan mengucapkan salam ‘Assalamualaikum’ dan semua yang hadir menjawab dengan ‘Wa'alaikumsalam’,  gema hadroh yang melantunkan kalimat tauhid dapat ditampilkan secara maksimal, serta menyediakan tempat wudhu dan salat. Semua yang hadir berbaur seperti saudara. Semua perbedaan agama bukan menjadi penghalang kita untuk berkomunikasi, bersaudara,  bertetangga apalagi dalam hidup sebagai warga negara. Kita Bineka, Kita Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H