Ia juga melanjutkan bahwa budaya kekitaan harus dijaga dengan baik.  Romo mencontohkan bahwa masing-masing kata memiliki pasangannya misalnya kata 'saya' pasangannya 'kami', kata 'dia' pasangannya 'mereka', kata 'engkau' pasangannya 'kamu', tapi kata 'kita' tidak memiliki pasangannya. Karena sesungguhnya kata 'kita' telah mencakup semua kata itu. Gagasan ini menurutnya terinspirasi dari pernyataan Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin.Â
Budaya kekitaan ini dapat dikembangkan dengan sembilan cakupan yaitu budaya kehidupan, budaya kemajemukkan, budaya inklusivitas, budaya solidaritas, Â budaya toleransi, budaya persaudaraan, budaya dialog, budaya kebenaran dan budaya kasih. Budaya ini dapat dimulai pada lingkup keluarga, sekolah, organisasi/komunitas keagamaan, organisasi/komunitas non-keagamaan dan masyarakat.
Hilangkan Prasangka dan Tumbuhkan Pikiran Positif
Konflik tercipta karena adanya kesenjangan, ketidak adilan dan kesalahpahaman. Kecurigaan kepada orang lain atau kesalahpahaman dapat membuat seseorang dapat melakukan tindakan yang di luar dugaan.Â
Kecurigaan yang berlebihan akan melahirkan prasangka buruk yang selalu menyelimuti benak dan pikiran. Jika rasa curiga sudah bertemu dengan kesalahpahaman maka konflik akan dapat mudah terjadi.Â
Saat terjadi kesalahpahaman, menutup diri dan tidak melakukan klarifikasi dapat menambah masalah menjadi semakin membesar.
Menurut Alissa saat ini  kita  mudah untuk menuntut orang lain memahami kita tapi kita tidak mau memahami orang lain.
Ketika agama kerap kali dihubungkan dengan berbagai aksi yang dilakukan oleh kaum radikal, menurut Alissa pada semua agama terdapat kelompok radikal dan semua kelompok mayoritas memilikinya. Oleh sebab itu, radikal tidak melekat pada agama, tetapi melekat pada adanya mayoritas-minoritas. Â
Karena adanya perkembangan globalisasi menurut Alissa muncul perasaan terancam dan merasa takut yang dirasakan oleh kelompok-kelompok sosial masyarakat maupun agama.  Maka muncul reaksi ingin menjaga kemurnian kelompoknya dan ingin berkuasa atau mendominasi karena takut dikalahkan. Karena ketakutan ini pula muncul gerakan populisme di Indonesia.
Sikap intoleran ini kemudian memunculkan sikap mayoritanianisme yaitu menganggap sebagai pihak yang paling berhak atas segala sesuatu dan menganggap yang lebih rendah sebagai minoritas.Â