Budaya literasi telah berkembang cukup lama di Indonesia. Sebagai sebuah negara besar yang memiliki keanekaragaman dalam berbagai aspek baik itu keanekaragaman sumber daya alam dan keanekaragaman sumber daya manusianya. Indonesia pernah menjadi saksi dari perkembangan berbagai peradaban masyarakat termasuk peradaban sebuah agama. Aliran kepercayaan dan agama berkembang pesat di Indonesia, diterima berbagai lapisan masyarakat.
Peradaban di masa lalu telah meninggalkan banyak peninggalan sebagai bentuk eksistensi dan prasasti sejarah yang patut diketahui oleh orang-orang yang hidup belakangan. Selain meninggalkan artefak-artrefak dan bangunan, peradaban masa lalu juga meninggalkan naskah-naskah. Budaya literasi pada dasarnya telah hidup di masa lalu khususnya kegiatan menulis dan menyalin.Â
Melalui tulisan nama seseorang akan terus dikenang dan diketahui banyak orang. Bahkan tulisan bukan hanya memberikan sumbangsih pengetahuan, tapi juga memberikan gambaran atas suatu peristiwa. Lewat naskah Nusantara kita dapat mengetahui sejarah bangsa kita di masa lalu dan bagaimana kehidupan sosial, budaya, agama dan pengetahuan kala itu. Naskah-naskah yang ada tidak selalu berisikan urainan tentang sastra, tapi banyak aspek lainnya yang terkandung di dalamnya. Ada juga naskah yang membahas suatu peristiwa, mitos, dan pengobatan.
Naskah Nusantara ibarat harta karun yang masih terpendam karena keberadaannya masih berserakan dan sebagian belum bisa diakses. Naskah Nusantara banyak juga yang tersimpan di berbagai lembaga dan perpustakaan luar negeri dan belum ada duplikat dari naskah tersebut yang kita miliki. Terlepas dari adanya wacana beberapa pihak yang mengusulkan agar pemerintah meminta pihak-pihak tersebut untuk mengembalikan naskah yang mereka simpan. Menurut saya, naskah di luar negeri mendapatkan perhatian khusus, dikaji secara konsisten, dan dirawat dengan baik. Jika memang suatu saat wacana pengembalian naskah tersebut ingin direalisasikan, tentu saja kita harus menyiapkan berbagai sarana prasarana. Jangan sampai saat naskah tersebut kembali kepada kita justru tidak terawat, tidak dikaji dan hanya disimpan sebagai koleksi belaka.
Sebagian naskah masih disimpan di tempat tertentu di beberapa wilayah atau menjadi koleksi pribadi. Ada beberapa naskah yang kondisinya memperihatinkan baik itu rusak, bahkan sudah tidak terbaca lagi. Banyak naskah yang belum terawat dengan baik, belum lagi dengan adanya ancaman jual-beli naskah Nusantara yang dilakukan oleh masyarakat kepada pihak luar.
Indonesia dengan sejarah panjang yang dimilikinya serta peradaban yang pernah ada telah menghasilkan begitu banyak peninggalan termasuk salah satunya naskah Nusantara. Keberadaan naskah Nusantara memang perlu mendapatkan perhatian lebih dari berbagai kalangan. Masyarakat perlu menumbuhkan kesadaran dan rasa cinta terhadap naskah-naskah Nusantara. Dengan begitu naskah yang ada akan terawat, dan tidak mungkin dijual ke luar, dan lebih bahagia lagi jika para pemilik naskah akhirnya mau memberikan naskah-naskah tersebut ke Perpustakaan. Selain itu, akan ada peningkatan minat sumber daya manusia untuk masuk ke jurusan yang berkonsentrasi dalam menggeluti naskah-naskah melalui jalur akademik di berbagai Perguruan Tinggi. Semakin banyak lahir para peneliti naskah atau Filolog, maka keterbatasan dan kekurangan sumber daya manusia untuk mencari, mengumpulkan, meneliti dan mendigitalisasi naskah akan dapat teratasi.
Sebelumnya, bangunan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia berada di dua tempat yaitu di Jalan Medan Merdeka Selatan dan di Salemba. Kini, lokasi Perpustakaan Nasional RI telah menjadi satu di Jalan Medan Merdeka Selatan.
Bangunan paling depan yang sebelumnya menjadi ruang perpustakaan dan kegiatan bagi para pengunjung telah berubah fungsi. Ruang yang sebelumnya menjadi tempat menyimpan buku-buku kini menjadi ruang media yang berjumlah empat ruangan dengan didukung teknologi audio visual yang akan memberikan edukasi kepada para pengunjung berkaitan dengan aksara, naskah, bahasa, dan kegiatan literasi. Bagian lorong kini menjadi area pameran yang memamerkan foto-foto kegiatan Presiden Joko Widodo dan Kepala Perpustakaan Nasional RI, dilengkapi dengan toilet di kedua sisi kanan dan kiri. Keluar terdapat taman, serambi dan barisan kursi untuk bersantai. Masuk ke dalam gedung baru akan disambut sebuah rak buku raksasa yang tinggi menjulang. Di lengkapi dengan sarana penunjang seperti Kantin, Area Parkir, dan Mushola. Terdapat ruang teater, ruang promosi budaya baca, data center, layanan anak, lansia dan disabilitas. Terdapat koleksi buku langka dan layanan multimedia.
Terdiri dari 24 lantai dan diklaim sebagai Perpustakaan tertinggi di dunia. Selain menyimpan buku-buku, Perpusnas RI juga menyimpan begitu banyak naskah-naskah Nusantara. Banyak naskah Nusantara telah didigitalisasi oleh Perpusnas dan dapat diakses oleh masyarakat umum. Seluruh fasilitas di Perpusnas RI telah menggunakan teknologi tinggi sehingga perputakaan tidak menjadi tempat yang ketinggalan zaman, tapi justru sebaliknya Perpustakaan menjadi pusat dari peradaban suatu bangsa.
Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) merupakan asosiasi yang mewadahi para peminat, pecinta dan pengkaji naskah-naskah Nusantara. Komunitas atau asosiasi tersebut berdiri pada tanggal 5 Juli 1996 oleh para filolog dan para pecinta naskah Nusantara. Salah satu pendiri Manassa yang kemudian menjadi Ketua Umum yang pertama adalah Prof. Dr. Achadiati Ikram. Banyak hasil penelitian yang sudah dihasilkan dan dipublikasikan kepada masyarakat, serta kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan naskah Nusantara telah banyak dilakukan salah satu kegiatan tahunan yang baru berlangsung beberapa bulan yang lalu adalah  Festival Naskah Nusantara II dan Simposium Internasional ke-16 Pernaskahan Nusantara bekerjasama dengan Perpusnas RI.
Dalam cerita Sang Kuriang, digambarkan bahwa Dayang Sumbi tengah menenun hingga akhirnya ia menjadi istri dari Si Tumang. Tenun juga mengandung nilai-nilai filosofi dan mistis. Ada makna-makna yang terkandung dalam warna yang dipilih. Ada beberapa pola yang digunakan dalam menenun pada masa lalu dan tidak dapat dijumpai lagi. Dulu, menenun dianggap sebagai simbol kedewasaan wanita. Seorang wanita dianggap dewasa jika sudah bisa menenun, dan karena itu ia baru diperbolehkan untuk menikah. Ia mengkritik para peneliti dan penulis sejarah tenun yang tidak memasukan masyarakat Sunda dalam lintasan sejarah tenun. Padahal menurutnya, tenun Sunda memiliki kekhasan tersendiri. Itulah sebabnya Jawa Barat disebut dengan Kota Tekstil.
Merupakan suatu keberuntungan bisa memperoleh wawasan dari hasil penelitiannya itu. Â Ia mampu menyampaikan uraiannya dengan bahasa yang mudah dipahami dan membuat para peserta yang hadir pada saat itu menjadi terkaget-kaget dengan penjelasannya. Terkait dengan naskah lontar, selama ini banyak orang yang menurutnya tidak teliti. Padahal banyak aspek dari naskah lontar yang kadang disepelekan dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting, padahal sebenarnya sangat berharga dan memiliki nilai penting.Â
Contohnya saja pola lubang pada naskah lontar, pola tali, pola takep, penggalan antar kalimat, ilustrasi yang digunakan, bahan dari kropak atau peti naskah, pola kropak, dan benda-benda yang menghiasi kropak tersebut.
Penelitian yang dilakukannya menyimpulkan ada kemiripan antara naskah lontar Jawa, Madura dan Lombok. Sedangkan naskah lontar Bali memiliki kekhasan tersendiri. Ia juga menyatakan bahwa penelitiannya tersebut bukanlah akhir dan belum menutup gerbang pengetahuan. Justru penelitiannya itu menjadi pembuka gerbang bagi para pengkaji untuk meneliti lebih dalam poin-poin yang telah diuraikan olehnya sebagai hal yang bisa diteliti dan menarik untuk dikaji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H