Mohon tunggu...
Eghar Anugrapaksi
Eghar Anugrapaksi Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswa kedokteran yang mencari kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan featured

Apakah Indonesia Butuh Tambahan Dokter?

7 Februari 2016   20:20 Diperbarui: 23 Maret 2020   11:35 5306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diolah dari sumber: WHO dan Bloomberg

Dokter sebagai garda terdepan untuk mengawal kesehatan memegang peranan penting untuk menentukan taraf kesehatan suatu negara. Kuantitas dan kualitas dokter tentu akan berdampak besar terhadap kesehatan masyarakat.

Statistik menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki rasio dokter per populasi yang tinggi akan selalu diikuti dengan taraf kesehatan yang tinggi di negara tersebut. Indonesia, dengan tingkat taraf kesehatan menempati no. 90 di Dunia, memiliki rasio dokter per 1000 populasinya sebesar 0.204.

Di sisi lain, Singapura dengan rasio dokter per 1000 populasinya sebesar 1.95 menempati tingkat taraf kesehatan no. 1 di Dunia (selengkapnya lihat infografis 1).

Pertanyaannya sekarang, masih perlukah negara kita akan tambahan dokter?

Mencetak seorang dokter itu lama dan susah, lho

Dokter dicetak melalui proses panjang. Proses yang dinamakan dengan pendidikan dokter.

Saat ini, pendidikan tersebut memiliki rentang antara 5.5 sampai 6 tahun hingga akhirnya dapat menyandang gelar dokter.

Jalan panjang tersebut tidaklah mudah, banyak fase-fase yang harus dilalui oleh seorang mahasiswa kedokteran hingga sampai pada saat hari ia disumpah dokter. Mulai dari fase pre-klinik di kampus kesayangan mereka masing-masing, lalu lanjut ke fase klinik di rumah sakit-rumah sakit mitra universitas mereka, hingga fase terakhir yaitu internship, barulah dokter muda ini bisa “bekerja” secara mandiri.

Bukannya sempurna, malah banyak sekali lubang di pendidikan kedokteran saat ini. Pada kuartal terakhir tahun lalu media dikejutkan dengan meninggalnya dokter-dokter muda yang sedang internship di wilayah timur Indonesia.

Diperparah lagi dengan pernyataan Menteri Kesehatan kita, Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Farid Moeloek, SpM(K), yang menyatakan bahwa yang sedang internship tersebut adalah mahasiswa dan internship bukanlah program yang dinaungi oleh Kementrian Kesehatan, melainkan oleh Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa program pencetakan lulusan dokter yang dibawahi oleh Kementrian Kesehatan tidak terkoordinir dengan baik dan masih memiliki kekurangan dalam impelementasinya.

Fakta menyedihkan

Padahal, apabila kita tinjau demografi Indonesia saat ini, kita sangat membutuhkan tambahan dokter.  Indonesia saat ini berada pada angka 254.454.778 untuk jumlah penduduk. Sedangkan, dokter umum di Indonesia “hanya” berada pada angka 109.641.

Di sisi lain, kita “hanya” memiliki 29.796 dokter spesialis. Bisa disimpulkan bahwa saat ini 1 dokter umum bertanggung jawab atas sekitar 2.320 orang di luar sana.

Sedangkan dokter spesialis bertanggung jawab atas 8.540 populasi masyarakat Indonesia.

Tak hanya sampai di angka fantastis tersebut, defisit dokter ini diperburuk dengan tidak meratanya persebaran dokter di Indonesia (selengkapnya lihat infografis 2).

Terkonsentrasi di bagian barat Indonesia
Terkonsentrasi di bagian barat Indonesia
Terkonsentrasinya dokter di bagian barat Indonesia, terutama di pulau Jawa mengakibatkan dokter yang bertugas di bagian timur Indonesia bisa jadi bertanggung jawab atas lebih dari 2.320 orang dan dokter spesialis lebih dari 8.540 orang.

Bukankah solusi paling tepat saat ini adalah dengan menambah lulusan dokter sehingga kebutuhan dokter Indonesia dapat tercukupi dan dapat meningkatkan taraf kesehatan Indonesia?

Tidak saat ini

Implementasi pendidikan kedokteran saat ini yang masih memiliki banyak kekurangan menutup kesempatan kita untuk menambah jumlah lulusan dokter. Output dokter sekarang memang masih jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan dokter kita.

Namun, mengingat banyaknya kontroversi yang menyelimuti pendidikan kedokteran saat ini, tak pantas rasanya kita menambah lulusan dokter.

Akankah kita tunggu korban-korban internship, dokter-dokter malpraktik, atau bahkan dokter-dokter yang terkonsentrasi di pulau Jawa?

Kuantitas bukanlah masalah, namun kualitas yang harus kita benahi. Sistem yang saat ini ada bukanlah sistem terbaik yang kita miliki.

Pun, sibuk menambah jumlah lulusan namun melupakan sistem yang tak sempurna ini bukanlah keputusan yang bijak dalam upaya meningkatkan taraf kesehatan Indonesia.

Maka dari itu, pembenahan sistem yang sudah ada harus segera dilakukan.

Apa yang harus kita lakukan?

Ada 4 hal yang harus benar-benar kita lakukan demi mewujudkan pendidikan kedokteran dan kesehatan Indonesia yang lebih baik.

1.Melakukan pembenahan sistem pendidikan kedokteran

Carut marut dan kontroversi yang menyelimuti sistem pendidikan kedokteran di Indonesia perlu dibenahi.

Mulai dari tahap preklinik dan klinik yang rawan privatisasi, hingga tahap internship yang masih memiliki banyak kekurangan disana sini harus segera ditangani oleh pemerintah.

Aksi nyata harus dilakukan pemerintah, seperti dengan memberikan alokasi dana lebih besar untuk kesehatan, terutama pendidikan kedokteran, dan peninjauan ulang sistem internship.

2. Moratorium fakultas kedokteran baru

Kondisi saat ini Indonesia memiliki 71 Fakultas Kedokteran (selengkapnya lihat infografis 3) yang terdiri dari Fakultas Kedokteran negeri maupun swasta.

Masih perlu ditingkatkan
Masih perlu ditingkatkan
Fakultas-fakultas kedokteran tersebut memiliki akreditasi yang beragam, mulai dari A sampai C. Jumlah yang cukup banyak tapi masih belum cukup memenuhi kebutuhan kita.

Apakah kita akan menambah jumlah FK agar output dokter kita terpenuhi?

Jawabannya adalah tidak, karena diperlukan waktu lama untuk menyamaratakan kompetensi setiap lulusan FK di Indonesia, hal ini akan dibahas lebih detail di poin berikutnya.

Maka dari itu, perlu dilakukan moratorium fakultas kedokteran baru sehingga fokus kita kini hanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran dan lulusannya, bukan untuk menambah kuantitasnya.

3. Sama ratakan kompetensi seluruh lulusan dokter di Indonesia

Kita harus mempertimbangkan bahwa banyak lulusan dokter di luar sana yang tidak memiliki kecakapan yang sama.

Contoh, seorang dokter dari fakultas kedokteran dengan akreditasi A tidak memiliki kemampuan yang sama dengan alumnus fakultas kedokteran dengan akreditasi C.

Hal ini tentunya akan membuat kompetensi dokter tidak sama rata, meski sudah ada upaya penyamarataan dengan Ujian Kompetensi Dokter (UKMPPD), pada kenyataannya tes tersebut bukanlah jalan terbaik.

Solusi terbaik adalah menyamaratakan kompetensi seluruh lulusan dengan menyamakan akreditasi FK-FK yang sudah ada.

Maka dari itu, kita bisa menyimpulkan bahwa setiap FK memiliki tenaga pengajar, fasilitas pendukung, dan ilmu yang setara.

Sehingga, FK tersebut dapat mendukung pencetakan lulusan dokter mulai dari fase preklinik hingga klinik dan lulusannya memiliki kompetensi yang sama satu dengan yang lain.

4. Pemerataan penempatan lulusan dokter disertai dengan fasilitas dan tunjangan yang memadai

Data menunjukkan bahwa dokter-dokter saat ini cenderung terpusat pada bagian barat Indonesia. Sedangkan, bagian timur Indonesia masih memiliki sangat sedikit dokter.

Tak heran taraf kesehatan di bagian timur Indonesia belum rata dengan yang ada di barat.

Hal ini menjadi cerminan bahwa sistem pemerataan kesehatan kita masih belum terimplementasi dengan baik.

Banyak sekali faktor-faktor yang ikut andil dalam peristiwa ini, mulai dari infrastruktur yang belum berkembang dengan baik hingga sistem tunjangan hidup yang kurang bagi lulusan dokter untuk mengabdi disana.

Permasalahan ini memang memerlukan berbagai elemen untuk berkolaborasi mewujudkan suatu daerah yang memiliki aksesibilitas tinggi, disertai dengan jaminan dari stakeholder terkait berupa asuransi, tunjangan hidup yang layak bagi lulusan dokter untuk terjun kembali ke masyarakat.

Indonesia memang kekurangan dokter. Supply dokter kita saat ini memang belum memenuhi demand dokter untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sehat.

Namun, upaya-upaya jangka pendek yang harus kita lakukan sekarang haruslah upaya yang tepat dan strategis, agar waktu, biaya, dan tenaga yang kita keluarkan tidak terbuang sia-sia.

Upaya tersebut bukan dari memperbanyak jumlah lulusan dokter yang ada di Indonesia, namun dengan meningkatkan kualitas lulusan dokter itu sendiri.

Hal tersebut dapat dicapai dengan memperbaiki sistem pendidikan kedokteran di tahap preklinik-klinik-internship, melakukan penyamarataan akreditasi FK di Indonesia sehingga lulusannya memiliki kompetensi yang seragam, melakukan moratorium FK baru, dan yang terakhir dengan melakukan pemerataan penempatan lulusan dokter disertai dengan fasilitas dan tunjangan yang memadai.

Di sisi lain, upaya jangka panjang bisa dilakukan dengan cara menambah lulusan dokter, hanya apabila sistem kita telah mencapai kesempurnaan.

Akankah kita seperti Singapura? Meski rasionya hanya 1.95 tapi mereka berhasil mengukuhkah posisi sebagai negara paling sehat se-dunia. Bukti bahwa kuantitas bukanlah segalanya. Semoga.

***

Sumber & Data :
1. Healthiest Country in the World
2. Physician Density per 1000 population
3. Persebaran Dokter di Indonesia
4. Populasi Indonesia 2015
5. Akreditasi FK di Indonesia

Menerima segala macam kritik, pesan, maupun pertanyaan untuk tulisan yang saya buat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun