Ngkiong menjawab sambil senyum, "roh memang kuat, tetapi daging lemah". Joffer membatini apa yang baru saja dikatakan Ngkiong.
Joffer membuka dialog lagi. "Sobat Ngkiong, janganlah kiranya hatimu bersedih mendengar kisahku ini". Ngkiong penasaran, "cerita apa sobat. Aku tak tahan lagi mendengarnya". Joffer melanjuti kisah dengan ekspresi murung, "begini, sobat Ngkiong. Warga kampung sudah menerima uang 150 juta per kepala keluarga, sehingga gunung itu dan pohon beringin besar pelindung kampung akan digusur dan digali besar-besaran untuk dijadikan pabrik semen dan pertambangan".
Spontan Ngkiong merespon, "apa? Digusur. Tidak bisakah kamu mencegatnya?" Joffer menjawab, "Suara satu orang tak bisa mengalahkan suara mayoritas. Warga kampung menganut paham demokrasi, siapa suara terbanyak kendatipun tak pakai nurani, selayaknya memilih Kepala Desa kemarin dan memilih DPR."
Ngkiong sangat sedih. Saudara-saudaranya akan kehilangan habitat mereka. Ia sangat terpukul, pertambangan di Serise, Torong Besi, sempat di Batu Gosok menyisahkan pengalaman tragis. Kini, akan ada lagi pabrik semen di Lolok dan Luwuk. Banyak anggota keluarganya meninggal. Kini, ia akan mengalami hal yang sama sebentar lagi. Malam itu, sambil tersenyum ia bersimbahkan air mata. Sedih sekali hatinya. Seperti mau mati rasanya.
Joffer, "gimana perasaanmu, sobat Ngkiong, setelah mendengar berita duka buatmu. Sebenarnya sih, buat saya juga. Saya adalah satu-satunya warga kampung yang tak setuju, sobat." Ngkiong, "andaikan saya adalah pemerintah. Saya akan berpikir dari kerugian alam. Saya akan menggunakan kacamata kosmos.
Acap kali, warga kampung memang selalui diiming-iming 'uang' oleh penguasa. Apalagi kalau pengusaha, penguasa dan uang bersua. Kita (kami dan kamu, satu-satunya yang menolak) hanyalah korban". Joffer turut merasa seduh-sedan, tak tangis tapi sangat berduka.
Hari sudah mulai larut malam, keduanya mengucapkan selamat berpisah pamit isterahat. Ngkiong di kala fajar membangunkan temannya, Joffer. Persabatan keduanya tak saling memanfaatkan. Ada dalam pelbagai situasi. Joffer tahu dan berkata dalam hatinya, "Tuhan, aku memang tidak memiliki apa-apa, tetapi aku memiliki siapa-siapa, termasuk Ngkiong. Maka, cegatlah kebatilan hatiku, jika aku sudah memiliki apa-apa, supaya jangan melupakan siapa-siapa, termasuk Ngkiong".
"Joffer, cepat bangun. Saya mendengar ada suara alat berat di gunung itu. Rupanya, katamu semalam benar terjadi. Itu sudah datang muka-muka uang", Ngkiong membuka percakapan. "Hmmmm", jawab Joffer sambil diam.
Lalu, Joffer pergi menyaksikan apa yang terjadi. Memang benar, teman-teman Ngkiong banyak yang diusir dari tempat itu. Tak sedikit yang meninggal. Lalu Joffer pulang.
Menjelang magrib, Joffer membersihkan tempat doanya. Setelah sholat, keduanya berjalan di kebun itu, selayaknya sepasang asyik-masyuk yang lagi bermesraan. Tetapi, mereka bukan pasangan kekasih, tetapi pasangan sahabat karib. "Berapa lama lagi, kamu bersama aku. Aku akan pergi untuk selamanya. Mungkin, aku berada di sini untuk menebus puisi yang hilang. Aku tak mau tahu, aku rela merasakan penderitaan Ngkiong-Ngkiong yang lain. Manusia sampai kapan pun selalu terarah kepada keburukan", sahut Ngkiong membuka percakapan.
Joffer sangat sedih mendengar pernyataan Ngkiong. Ngkiong baru kali itu mengatakan kata seperti itu, rasanya seperti petir di siang bolong. "Memang, sobat Ngkiong mau ke mana?", tanya Joffer. "Ya, ke arah asalku". Ngkiong melanjuti sabdanya, selayaknya, ia adalah seorang nabi, "Akan ada suatu saat manusia meratapi keberdosaan dan mengutuki kedurhakaan. Jika waktu memetik pada sebuah masa, manusia akan menjerit seperti wanita yang melahirkan. Akan ada masa, wanita mandul akan diberikan keturunan. Seorang yang beranak banyak menjadi layu".
Percakapan sederhana itu begitu hening. Kata-katanya seperti mengajak menyusuri lorong sunyi, tak ada buih dan suara.
Sudahkah kamu membaca Kitab Suci?, tanya Ngkiong kepada Joffer. Joffer. "Aku pernah membaca dan banyak yang lupa", sahut Joffer. Mencintai itu memang sampai membuat orang lupa - lupa fokus kepada dirinya. "Manusia sekarang memang belum sampai pada taraf lupa", sahut Ngkiong. Ia menambah, "manusia hanya mengungkung ego. Ego terlampau kuat, sehingga lupa diri. Lupa yang lain. Lebih parah lagi, sobatku Joffer, kalau sudah lupa Tuhan. Jerat kadang putus karena terhempas oleh manusia".
Keduanya sangat asyik berdiskusi tentang kehidupan sejati. "Apa yang paling berharga dalam hidup, sobat Ngkiong?" tanya Joffer. "Waktu", itulah yang kekal.
"Tetapi kenapa manusia biadab", tanya Joffer. "Waktu adalah hakim, yang memperhitungkan setiap tindakan manusia", lanjut Ngkiong. "Bagaiman jika keabadian tidak ada", batin joffer.
"Waktu dan keabadiaan adalah satu", jawab Ngkiong. "Lalu, keabadian itu, kenapa membiarkan manusia hidup dalam kekalutan dan kebuasan", Joffer melanjuti pertanyaannya. "Hanya dengan itu, manusia bisa paham, apa makna kesempatan. Setiap kesempatan mengandung racun dan madu. Memilih yang baik atau buruk", tegas Ngkong dengan suara agak berapi-api. "Berarti kesempatan curang", tanya Joffer menggebu-gebu. "Kesempatan selayaknya kata-kata dan nasihat saya. Tidak pernah curang. Manusia lebih memilih uang daripada nasihat.", jawaban yang membuat Joffer mati kutu dan tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Lalu, Joffer pamit menuju ke pondok lebih dahulu. Joffer masih menikmati mungkin empat teguk lagi dari cangkir kopi yang lekat dipegangnya. Setelah sejam ia merenung sabda Ngkiong, ia pun beranjak dari tempat itu dan menuju ke pondok.