Di sebuah daerah di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, ada seekor burung yang selalu dikaitkan dengan alam, yaitu Ngkiong. Di sana, hiduplah seorang lelaki tua renta, bujang lapuk, tak laku-laku di mata perempuan. Namanya adalah Joffer. Mungkin benar kata orang, nomen est omen, nama adalah tanda selayaknya doa, Joffer (Jomblo for ever). Senja adalah waktu yang tepat menikmati secangkir kopi sambil menyaksikan teja alam, yang menghiasi berbaagai kekayaan.
Si, Joffer, petani tua itu sangat menikmati situasi-situasi itu. Sejak lahir Joffer sudah bersahabat dengan alam. Alam dan manusia itu begitu dekat, hanya beda bahasa. Tak semua manusia memahami bahasa alam dan tak semua isi alam mengerti bahasa manusia.
Bunyi Ngkiong pada sore hari merupakan suatu sukacita sendiri. Alam itu selayaknya sedang konser pada senja hari. Ada suara yang merdu kendatipun tak berirama. "Indah sekali", begitulah Joffer merasakannya.
"Ngkiong" hanya terdapat di daerah kuni agu kalo, Manggarai. Kelejitan burung ini, sampai-sampai penggubah lagu Manggarai membuat lirik dengan syahdu: "senget runing Ngkiong/senget Ngkiong ta ngkiong le poco". Neka poka puar/ neka tapa satar/.
Si Joffer dan Ngkiong mengisahkan persahabatan dua makhluk hidup yang saling bertarung dengan waktu dan hidup. Joffer hanya ditemani oleh burung Ngkiong di rimba pekat. Ia merasa rimba Tuhan yang berkemah di bumi.
Si Joffer, "sobat Ngkiong. Saya pulang ke kampung hari ini. Kamu menjaga semua apa yang ada di kebun ini."
Ngkiong, "siap bos. Tapi jangan lupa, ingatkan orang-orang di kampung, gunung itu tak boleh diberikan ke pihak investor untuk pertambangan. Mata air itu harus dijaga dan jangan menebang pohon di sekitarnya."
Si Joffer, "saya dengar si sob, warga kampung akan menebang pohon beringin besar itu. Semoga saja nanti, kebatilan hati mereka diubah oleh ruah Allah.
Si Joffer pulang ke kampung dengan sangat sedih. Ia tahu, warga kampung lebih memilih uang daripada alam. Mereka sudah menerima uang dari investor asing, dengan janji yang tinggi.
Ia mengingatkan warga kampung dengan mengulangi lagi kalimat sahabatnya, Ngkiong. Tetapi, apa lacur, uang lebih memikat manusia daripada nasihat. Kerakusan lebih kuat daripada keugaharian.
Keesokannya, ia pulang ke ladang. Sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Ia sudah terbiasa dengan kesendirian. Kendatipun, ia sadar banyak makhluk Tuhan menemaninya.
Ia tiba di ladang menjelang magrib. Selesai sholat, ia menggulungkan sajadah, lalu berdialog dengan Ngkiong. "Sob, apa memang hati manusia bukan terbuat dari ruh atau roh Allah?"