Persoalan mengenai kawin pintas menjadi satu topik yang hangat dibicarakan di tengah banyaknya pasangan yang hamil di luar nikah. Terlepas apakah pasangan tersebut memiliki komitmen yang kuat untuk hidup bersama ataukah belum siap untuk itu, tetapi sejauh belum disahkan dalam perkawinan, hal tersebut dilihat sebagai sebuah persoalan yang mesti ditanggapi secara serius. Ini adalah tantangan bagi Gereja, masyarakat, dan terutama bagi keluarga yang bersangkutan.Â
Sebab, kawin pintas memiliki dampak negatif yang serius di masa mendatang, terutama bagi keberlangsungan hubungan keduanya dan bagi masa depan anak yang lahir nantinya. Intinya bahwa kawin pintas bukanlah persoalan yang sederhana terkait "harga celana umpan", tetapi merupakan persoalan kompleks bagi keluarga Kristiani saat ini.
Konsep Perkawinan
 Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, perkawinan merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang yang sah dan itu terjalin dalam jangka waktu yang selama mungkin. Bertolak dari definisi tersebut, terdapat tiga hal pokok yang berkaitan erat dengan perkawinan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Antonius Mbukut dalam bukunya yang berjudul Perkawinan Adat Wangkung Rabong. Pertama, perkawinan adalah suatu hubungan hukum.Â
Peran sentral hukum dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan hubungan antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan dalam perkawinan. Sebab bagi orang Kristen, perkawinan itu ada demi kebaikan individu-individu dan kebaikan komunitas. Menurut Thomas P. Doyle, sebagaimana yang dikutip oleh Philip Ola Daen, tugas utama dari hukum bukan untuk memberi tekanan atau merintangi, tetapi lebih untuk membimbing, menstimulasi, mempromosi, melindungi dan menjaga bidang kebebasan yang benar. Kebebasan tanpa pengendalian tata aturan hukum menjadi opresif (bersifat menindas).
Kedua, seorang pria dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat yang sah, baik itu syarat-syarat menurut hukum agama maupun syarat-syarat menurut hukum sipil. Ketiga, terjalin dalam jangka waktu selama mungkin, karena dalam perkawinan orang terikat secara hukum. Dalam suatu masyarakat kultural, terdapat hukum perkawinan adat yang diberlakukan ketika seorang pria dan seorang wanita bersepakat untuk hidup bersama. Profesor H. Hilman Hadikusuma, sebagaimana yang dikutip Antonius Mbukut, memahami perkawinan adat sebagai suatu bentuk perkawinan yang segala macam tata tertibnya diatur oleh hukum adat (hukum masyarakat).
Apa itu kawin Pintas?
Perempuan dan laki-laki yang telah sepakat untuk hidup bersama, secara legitim dikukuhkan dalam perkawinan. Di luar perkawinan hubungan keduanya tidak sah. Untuk masuk dalam perkawinan, mereka harus menjalani tahap-tahap yang diberlakukan dalam hukum agama, hukum sipil, dan hukum adat. Prosedur yang ditetapkan adalah standar yang harus dipatuhi agar keduanya secara layak dan meyakinkan masuk ke dalam kehidupan baru sebagai suami dan istri.
Seiring perjalanan waktu, prosedur yang dimaksud dilihat sebagai sebuah halangan bagi pasangan. Pandangan primitif semacam ini mereduksi hakikat dan nilai-nilai dalam perkawinan. Karena dilihat sebagai halangan, maka terjadi pengabaian atas prosedur yang harus dilalui. Bertolak dari situasi semacam ini, maka muncul istilah kawin pintas. Pintas berarti singkat, cepat, lekas. Kawin pintas diartikan sebagai hubungan antara perempuan dan laki-laki yang dibangun tanpa melalui prosedur dalam hukum agama, hukum sipil, dan hukum adat. Karena itu, kawin pintas dipandang sebagai hubungan yang tidak sah dan karenanya dinilai negatif dan primitif.
Kawin pintas adalah masalah dalam perkawinan. Ketidaksiapan untuk memasuki kehidupan baru dalam keluarga adalah alasan yang kemudian menciptakan masalah dalam keluarga di masa depan. Hubungan perempuan dan laki-laki dalam kawin pintas dilatari oleh konsep cinta yang semu. Kawin pintas mereduksi nilai perkawinan, yang dalam Gereja Katolik dipandang sebagai sakramen tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Perkawinan tidak lagi dipandang sebagai persekutuan yang suci dan mulia di tengah maraknya kawin pintas.Â
Di dalamnya, perkawinan tidak dilihat sebagai sebuah perjanjian, melainkan kontrak, yang bisa berakhir kapan saja. Padahal hakikat perkawinan menekankan perjanjian perkawinan antara pria dan wanita dalam membentuk kebersamaan seluruh hidup. Ikatan perjanjian itu, melibatkan satu hubungan interpersonal secara total, yakni kerohanian, emosi, dan fisik. Itu berarti, pasangan dituntut untuk saling memberikan seluruh dirinya supaya mengarah pada pembentukan satu komunitas seluruh hidup.