Mohon tunggu...
Ega Wiguna
Ega Wiguna Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Sastra || @sastra.wiguna_

Memberikan kebermanfaatan untuk masyarakat banyak

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menggali Potensi, Menuju Terwujudnya Wisata Budaya Terpadu di Kabupaten Sumedang

17 Februari 2020   00:27 Diperbarui: 20 Februari 2020   17:02 1789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Replika Kereta Kencana Naga Paksi (dok.pri)

"Dunia kini tengah bergerak menuju periode "benturan peradaban," dimana identifikasi utama masyarakat bukan lagi pada ideologi seperti yang terjadi selama perang dingin, tetapi lebih kepada budaya."   -Huntington-

Ketika Sumedang mendeklarasikan diri atau mencanangkan wilayahnya sebagai "Puseur Budaya Sunda," bukanlah hanya dilatarbelakangi oleh adanya politik pemerintah (bercorak kewibawaan daerah), yang bertujuan untuk menjadi daya dorong bagi kekuatan pariwisata semata. Tetapi memang dalam realitasnya Sumedang memiliki akar-akar sejarah yang kuat, sebagai pewaris hegemoni politik Pajajaran dan menjadi penyangga budaya Jawa Mataram.

Dengan berpijak pada motto:

"Dina Agama Urang Napak, Tina Budaya Urang Ngapak"

Masyarakat Sumedang memiliki keyakinan yang kuat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari yang berpijak pada aturan agama dan juga akan mendayagunakan kekayaan budaya Sunda yang dimiliki sebagai media efektif untuk mewujudkan visi Sumedang yang Sejahtera, Agamis dan Demokrastis (Sumedang SEHATI).

Sumedang sebagai bagian dari wilayah kebudayaan Sunda, memiliki tradisi yang sangat kuat dalam memelihara upacara-upacara adat kesundaan. Hampir bisa dipastikan, Sumedang agak berbeda dengan wilayah-wilayah Sunda lainnya seperti Garut, Ciamis, Tasikmalaya, dalam menghormati dan memelihara warisan kesundaan. Sehingga wajar ketika kekuatan sejarah dan keterpaduannya dengan nilai-nilai Islam yang ada, menjadi modal yang sangat kuat bagi penyebutan "Puseur Budaya Sunda." Bahkan hampir bisa dipastikan juga, sejumlah desa dan kecamatan memiliki tradisi upacara adat dan kesenian khas, termasuk larangan adat (Thohir, 2013).

Dengan adanya modal yang kuat tersebut, sebenarnya sudah seharusnya Sumedang memiliki objek wisata budaya terpadu, yang menjadi rujukan atau pusat informasi terkait sejarah, tradisi atau budaya setempat.

Lalu yang menjadi pertanyaan, sudahkah Sumedang memilikinya?

Kalau berbicara wisata budaya terpadu, saya rasa belum atau mungkin sedang dalam proses menuju kesana. Memang benar, Sumedang memiliki wisata budaya yang cukup banyak, namun ketika berbicara wisata budaya terpadu dan sangat diunggulkan, tentunya itu akan dijadikan prioritas kunjungan oleh wisatawan. Bahkan, menjadi magnet yang menuntun mereka, ketika berkunjung ke Sumedang. Akan selalu terlintas dipikiran mereka:

"ingin kesana, masa sudah jauh-jauh ke Sumedang tidak kesana"

Intinya, kalau tidak dikunjungi, maka serasa ada yang kurang.

Nah, sebenarnya apa saja sih wisata budaya atau sejarah Sumedang yang bisa kita kunjungi?

Cukup banyak, diantaranya: Makam Cut Nyak Dien, Kesenian Kuda Renggong Desa Cikurubuk, Makam Dayeuh Luhur, Makam Marongge, Museum Prabu Geusan Ulun, Rumah Adat Kampung Cigumentong, Kampung Ladang, Kesenian Panahan Kasumedangan Kampung Cimanglid, Rumah Buhun Desa Sekarwangi dan lain sebagainya.

Dari semuanya itu, kira-kira manakah yang termasuk ke dalam wisata budaya yang diperhitungkan atau setidaknya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi wisata budaya terpadu di Sumedang?

Semuanya memiliki potensi. Namun menurut pendapat pribadi penulis, sebagai langkah awal, yang paling cocok untuk kemudian dikembangkan adalah Museum Prabu Geusan Ulun (MPGU).

***

Museum Prabu Geusan Ulun: Berbagai Pertimbangan Menuju Wisata Budaya Terpadu

Lokasi Museum Prabu Geusan Ulun (dok.pri)
Lokasi Museum Prabu Geusan Ulun (dok.pri)
Ada  beberapa alasan dan beberapa potensi yang bisa dikembangkan, ketika kita memilih Museum Prabu Geusan Ulun untuk dijadikan pillot project dalam pengembangan objek wisata budaya terpadu Sumedang.

Alasan Pertama, seperti kita ketahui adanya trend baru atau kecenderungan untuk mencari sesuatu yang unik dan autentik dari suatu kebudayaan, kini telah menjadikan wisata budaya sebagai salah satu segmen industri pariwisata yang perkembangannya paling cepat. Museum ditenggarai menjadi salah satu dari wisata budaya yang memiliki daya tarik lebih dikalangan wisatawan global.

Kedua, tempat berkumpulnya warisan dan ikon budaya Kabupaten Sumedang. Ada Gedung Srimanganti, yang merupakan bangunan Cagar Budaya; Mahkota Binokasih, yang dijadikan ikon monumen Binokasih dan lain sebagainya.

Ketiga, menyimpan banyak informasi terkait sejarah luhur dan luhung yang merupakan suatu proses menuju terbentuknya Kabupaten Sumedang sebagai Puseur Budaya Sunda.

Keempat, adanya wacana pengembangan museum dari Yayasan Nadzhir Wakaf Pangeran Sumedang.

"Dari pihak Yayasan memang kedepannya ada rencana pengembangan, tapi belum tau pasti pengembangan seperti apa yang akan dilakukan," kata Ila Gilang Kencana, salah seorang pemandu museum.

Kelima, adanya tantangan (kontradiktif) antara: kecenderungan global yang sangat pesat terhadap wisata budaya khususnya museum, dengan kenyataan minimnya ketertarikan wisatawan di Indonesia khususnya Sumedang terhadap museum.

Banyak sekali diberitakan dalam media, bahwa kebanyakan museum di Indonesia mengalami penurunan dalam hal kunjungan wisatawan dan bahkan sedikit sekali mendapat perhatian dari kalangan millenial.

Laporan Data Pengunjung MPGU (diolah penulis)
Laporan Data Pengunjung MPGU (diolah penulis)
Contohnya saja di MPGU, kunjungan wisatawan dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2019 terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Kalau kita bandingkan data tahun 2016 dan 2019 itu ada gap sebanyak 6.917 wisatawan. Itu berarti selama tiga tahun, jumlah wisatawan yang berkunjung, berkurang sekitar 36%. Tentu, ini tidak bisa kita biarkan begitu saja.

Untuk menjawab alasan dan tantangan yang ada, maka sedikitnya ada dua hal yang bisa penulis usulkan dalam rangka pengembangan MPGU kedepannya. Dua hal tersebut yakni: atraksi wisata atau panggung budaya dan Saung "Mini Sumedang" (akan dibahas di bagian terakhir tulisan).

***

Sejarah Singkat Museum Prabu Geusan Ulun

Museum Prabu Geusan Ulun didirikan pada tahun 1973 dengan nama awal "Museum Wargi Yayasan Pangeran Sumedang." Nama tersebut diambil karena memang berdirinya museum dilatarbelakangi oleh terbentuknya Yayasan Pangeran Sumedang (YPS), sebagai lembaga yang mengurus, memelihara dan mengelola barang wakaf Kangdjeng Pangeran Aria Soeria Atmaja (Bupati Sumedang 1882-1919).

Tujuan didirikannya museum adalah sebagai upaya pengembangan kegiatan Yayasan dalam memanfaatkan banyaknya benda-benda peninggalan (pusaka) yang ada, sehingga dapat bermanfaat bagi para wargi dan rakyat Sumedang. Sejalan dengan apa yang diwasiatkan oleh Pangeran Aria. Selain itu, juga sekaligus untuk mengenang keberadaan dari Kerajaan Sumedang Larang yang pernah berdiri di Sumedang.

Pada tanggal 13 Maret 1974, Museum YPS pun berubah nama menjadi Museum Prabu Geusan Ulun, yang diambil dari nama raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang. Perubahan nama tersebut dilakukan sebagai respon dari usulan dan kesepakatan para ahli sejarah; sesepuh YPS; dan wargi Sumedang, pada forum Seminar Sejarah Jawa Barat kala itu.

Koleksi Ikonik Museum

Diantara semua koleksi museum, yang paling ikonik adalah Mahkota Binokasih dan Kereta Kencana Naga Paksi. Itulah yang paling mudah diingat dan membekas di ingatan penulis ketika berkunjung kesana.

Mahkota Binokasih Sanghyang Pake (dok.pri)
Mahkota Binokasih Sanghyang Pake (dok.pri)
Mahkota Binokasih merupakan lambang eksistensi kekuasaan Pajajaran di Tatar Sunda, yang dibuat oleh Batara Guru di Jampang pada masa Raja Pajajaran Prabu Bunisora Suradipati (1357-1371). Tiga raja Pajajaran yang menggunakan Mahkota Binokasih, antara lain: Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475), Prabu Susuktunggal (1382-1482), Prabu Sri Baduga Maharaja (1482-1521).

Pada masa Prabu Ragamulya Suryakancana (1567-1579), beberapa wilayah kekuasaan Pajajaran diserang dan berhasil diduduki oleh pasukan Surasowan Banten. Melihat kondisi yang sudah tak menentu, akhirnya Prabu Ragamulya pun memerintahkan empat Senapati Pajajaran untuk menyelamatkan pusaka berupa Mahkota Binokasih ke Sumedanglarang. Mereka menyamar sebagai Kandaga Lante dan berangkat bersama rakyat Pajajaran yang mengungsi.

Pada hari Jum'at legi tanggal 22 April 1578 (bertepatan dengan Idul Fitri), empat Kandaga Lante yang membawa pusaka akhirnya sampai di Keraton Kutamaya. Kemudian menyerahkan pusaka dan alas parabon kepada penguasa Sumedanglarang (Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri).

Pada masa itu pula, putra Ratu Pucuk dan Pangeran Santri yaitu Pangeran Angkawijaya dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang ke IX dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578-1601) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran.

Sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kerthabumi I/2 (h. 69) yang berbunyi:

"Geusan Ulun nyakrawarti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamayan ri Sumedangmandala."

(Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang).

Bahkan Mahkota Binokasih ini dijadikan monumen juga lho. Itu bisa kita temui di bundaran Polres Sumedang. Dijadikannya Mahkota Binokasih sebagai penghias monumen, bukan tanpa alasan. Para Budayawan dan Pemerintah, sebelumnya memang telah mendiskusikan terlebih dahulu, ikon apa yang pantas untuk dipasang di puncak monumen. Sebuah ikon yang memberikan kesan kuat sebagai identitas Sumedang.

Pemasangan Replika Mahkota (ig @eq_mendayun)
Pemasangan Replika Mahkota (ig @eq_mendayun)

Pembangunan monumennya sendiri, dimulai sejak September 2014 sampai dengan Mei 2016. Menurut informasi yang didapat, replika "Mahkota Binokasih Sanghyang Pake" yang berada di puncak monumen, beratnya ditaksir mencapai 400 kilogram dan berhiaskan batu giok.

Monumen Binokasih Malam Hari (@inimahsumedang)
Monumen Binokasih Malam Hari (@inimahsumedang)
Bagi kalian para pecinta selfie atau pengguna berat instagram, monumen ini menjadi tempat yang sangat instagramable. Sayang banget kalau tidak diabadikan melalui lensa kamera. Apalagi jika itu di malam hari, beuh... kita akan disuguhi pemandangan indah kerlap-kerlip lampu yang dipadu-padankan dengan air mancur yang menari-nari.

Kereta Kencana Naga Paksi

Banyak yang bilang, katanya kereta ini agak mirip dengan kereta Paksi Naga Liman milik Kasultanan Cirebon dan juga kereta Singa Barong. Kalau dari kejauhan mungkin memang agak mirip, tapi sebenarnya banyak perbedaan mendasar dari kereta ini.

Replika Kereta Kencana Naga Paksi (dok.MPGU)
Replika Kereta Kencana Naga Paksi (dok.MPGU)
Dulunya, kereta Naga Paksi merupakan tunggangan Pangeran Kusumadinata IX atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Kornel. Seorang pangeran yang sangat dicintai rakyatnya, karena kesatriaannya dalam menentang kekejaman penjajah Belanda. Khususnya Gubernur Jenderal Daendals. Sebagaimana dilansir dalam metropekanbaru.com, bahwa Rd. Kusdinar (cucu Pangeran Kornel) menuturkan, konon dahulu kala kereta Naga Paksi ini bisa terbang. Namun, hanya pada waktu-waktu tertentu disaat Pangeran Kornel ingin meninjau kondisi rakyatnya di suatu daerah.

Replika Kereta Kencana Naga Paksi (dok.pri)
Replika Kereta Kencana Naga Paksi (dok.pri)
Dengan panjang 7 meter, lebar 2,5 meter dan tinggi 3,1 meter, kereta ini menampakkan kewibawaanya. Terlepas dari penampilannya yang unik, kereta ini menyimpan simbol-simbol yang melambangkan keagungan dan ketinggian derajat.

dok.pri
dok.pri
Pada tahun 1995, kereta ini mengalami perbaikan. Meski dikerjakan oleh tangan-tangan ahli, nyatanya perbaikan memakan waktu sampai 10 bulan, yang berakhir pada bulan Maret 1996.

Tahukah kalian bahwa ternyata untuk perbaikannya sendiri tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang? Yaps, pada waktu itu yang melakukan perbaikan adalah ahli kereta dari Kasultanan Cirebon, yakni Pangeran Elang Yusuf bersama timnya. Dimana, mereka melakukan tirakat terlebih dahulu selama tujuh hari.

Sebenarnya, ketika kita mencoba melihat dokumen yang disusun oleh bidang sejarah dan silsilah Museum Prabu Geusan Ulun, dalam dokumen tersebut akan didapati daftar koleksi unggulan dari museum (setidaknya ada 16). Yakni, Mahkota Binokasih dan Siger; Pedang Ki Mastak; Keris Ki Dukun; Keris Panunggul Naga; Keris Nagasasra Panembahan; Keris Nagasasra Kusumadinata IX; Badik Curul Aul; Tempat Sirih; Bokor; Kujang; Gamelan Parakan Salak; Gamelan Pusaka Sari Oneng Mataram; Kitab Kuno Al-Qur'an; Kitab Waruga Jagat; Kitab Cariosan Prabu Siliwangi; dan Kereta Kencana Naga Paksi.

***

Potensi Pengembangan Museum Prabu Geusan Ulun

Beberapa ide yang diusulkan oleh penulis untuk pengembangan MPGU kedepannya, antara lain:

Atraksi Wisata atau Panggung Budaya

"Atraksi wisata merupakan salah satu faktor pendorong yang menarik wisatawan untuk memilih berkunjung ke suatu tempat sebagai tujuan wisata. Atraksi wisata dapat berupa pertunjukan kesenian, olahraga, pameran (promosi) dan juga bazar. Baik itu di tempat tertutup maupun di tempat terbuka yang bersifat temporer." (Yoety dalam Wibowo, 2017)

Panggung budaya yang dimaksud bukan berarti berupa bangunan atau panggung permanen, tapi lebih kepada ruang atau space kosong, yang disesuaikan dengan pertunjukan yang akan ditampilkan.

Seni pertunjukan, merupakan bagian dari ekonomi kreatif yang harus dikembangkan. Beberapa potensi yang ada diantaranya: Kesenian Kuda Renggong yang berasal dari Desa Cikurubuk; Kesenian Tarawangsa yang berasal dari Rancakalong; Panahan Kasumedangan yang berasal dari Kampung Cimanglid; dan lain-lain.

Peran serta para budayawan, seniman, serta masyarakat setempat dari berbagai pelosok Sumedang, juga  sangat dibutuhkan, dalam rangka menampilkan seni pertunjukan yang ada.

Manfaat dari adanya atraksi di MPGU adalah memberikan kemudahan bagi wisatawan, yang membutuhkan sajian kesenian pada satu lokasi yang terintegrasi. Di sisi lain, sekaligus menjadi ajang promosi bagi Desa atau Kecamatan untuk menarik wisatawan, agar berkunjung ke daerahnya. Misalnya tadi, Kesenian Kuda Renggong. Maka, seniman yang sudah menampilkan pertunjukannya, mengarahkan (merekomendasikan) para wisatawan yang ingin mengetahui lebih dalam ataupun menyaksikan pertunjukan/festival kuda renggong yang lebih meriah, untuk berkunjung ke Rancakalong.

Begitupun, misalnya para wisatawan yang ingin belajar atau mengetahui lebih dalam tentang Panahan Kasumedangan, maka akan direkomendasikan untuk berkunjung ke Kampung Cimanglid.

Sebagai langkah awal, atraksi wisata cukup dilakukan seminggu sekali khususnya di hari Minggu. Kenapa tidak hari yang lain?

"Untuk pengunjung, dari 5 hari kita buka, itu biasanya paling banyak hari minggu. Terlebih lagi ada kegiatan sanggar, ya... latihan tari di gedung Gamelan. Itu juga menjadi daya tarik sendiri," tutur Ila.

Gedung atau Saung "Mini Sumedang"

Apa sih itu Saung "Mini Sumedang"? seperti namanya, gambaran umum gedung ini nantinya berfungsi sebagai miniatur Sumedang. Segala macam informasi terkait Sumedang, dimulai dari daerah-daerah yang ada; potensi-potensinya; wisata di tiap desa dan kecamatan; tradisi upacara adat dan kesenian khas, ada di gedung ini. Baik itu dalam bentuk dokumen fisik maupun digital, juga dalam bentuk replika. Akan disediakan juga peta Sumedang secara keseluruhan, yang dilengkapi petunjuk-petunjuk atau penanda wisata (khususnya wisata budaya) yang bisa dikunjungi di seluruh Sumedang.

Intinya, gedung ini di setting sedemikian rupa, supaya menjadi pusat informasi apa saja terkait Sumedang. Tentu, itu dapat mempermudah para wisatawan, peneliti atau akademisi ketika akan menuju ke suatu tempat yang mereka tuju.

Kalau diibaratkan dalam sebuah game petualangan, gedung ini ibarat "guild petualang." Sebagai titik awal, yang memberikan semua informasi dan petunjuk terkait dengan pelaksanaan misi di lapangan.

Adanya hal ini, lambat-laun akan menumbuhkan ketertarikan serta menggiring para wisatawan untuk berkunjung dulu ke Saung "Mini Sumedang" (MPGU secara umum), sebelum berkunjung ke tempat yang sebenarnya mereka tuju. Dengan harapan, perjalanan mereka di Sumedang bisa lancar jaya tanpa hambatan dan menyimpan banyak pengalaman yang berkesan.

***

Sebuah Harapan Untuk Sumedang dan Indonesia

"Amerika menjadi Negara adidaya karena pendekatan budaya dengan ikon American Dream dan Front Row Spirit; Jepang menjadi Negara super power dalam bidang ekonomi karena pendekatan budaya Gambaru; Korea Selatan maju menjadi salah satu Negara kelas dunia karena pendekatan budaya berbasis desa, yakni Saemaul Undong Movement; Cina mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan karena menjaga budaya Confusiasme; Malaysia juga mulai merangkak menjadi Negara maju karena pendekatan budaya melalui konsepsi Progresif Mind dan Truly Asia. Dengan kata lain, sebuah Negara ataupun daerah bisa bertubuh dan maju serta memiliki daya saing yang tinggi apabila bertumpu pada Spiritualitas Berbasis Budaya atau lebih dikenal dengan Pembangunan Berwawasan Budaya."

-disampaikan oleh Drs. H. Ade Irawan, M.Si (Bupati Sumedang 2013-2018)

Harapannya, dengan terbentuknya wisata budaya terpadu, yang dimulai dari pengembangan Museum Prabu Geusan Ulun, nantinya akan menjadi bibit untuk mengembangkan desa-desa wisata berbasis budaya di seluruh pelosok Sumedang. Bahkan, bukan tidak mungkin akan terbentuk sebuah paket perjalanan wisata "Keliling Budaya Sumedang." Yakinlah, dengan adanya benchmarking pembangunan daerah (wisata) berbasis budaya, lambat-laun hal tersebut akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat Sumedang. Sekaligus memantapkan Sumedang sebagai "Puseur Budaya Sunda".

Referensi:

[1] Wawancara dengan Ibu Ila Gilang Kencana (Pemandu Museum)

[2] Peraturan Bupati Nomor 113 Tahun 2009 tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS)

[3] Profil Museum Prabu Geusan Ulun (dokumen) yang disusun oleh Bidang Sejarah dan Silsilah Museum Prabu Geusan Ulun.

[4] Transcript presentasi Drs. H. Ade Irawan, M.Si "Sumedang Puseur Budaya Sunda" (Kebijakan Pembangunan Berwawasan Budaya untuk Meningkatkan Daya Saing Daerah).

[5] iaaipusat.wordpress.com/2012/05/04/museum-sebagai-daya-tarik-wisata-perspektif-multikulturalisme/

[6] kodesjabar.com/2018/11/tugu-mahkota-binokasih-lambang-kekayaan-Sejarah-Sumedang/

[7] metropekanbaru.com/kereta-nagapaksi-ini-kereta-kebesaran-kerajaan-sumedang/

[8] uinsgd.ac.id/berita/sumedang-puseur-budaya-sunda-kajian-sejarah-lokal/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun