Mohon tunggu...
Ega Ayu Agustin
Ega Ayu Agustin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UNEJ

Saya sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Debat Thrifting dan Sustainable Living: Larangan Impor Pakaian Bekas oleh Permendag RI

26 Maret 2023   10:00 Diperbarui: 26 Maret 2023   10:10 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pada pertengahan bulan Maret 2023, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan langkah Kementerian Perdagangan RI yang memusnahkan pakaian impor bekas senilai 10 miliar rupiah. Langkah tersebut dilakukan untuk menegakkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 40 Tahun 2022. Peraturan tersebut memuat perubahan atas Permendag No. 18 Tahun 2021 yang mengatur Barang dilarang ekspor serta barang dilarang impor. Tindakan pemusnahan pakaian dan barang lain seperti tas hingga sepatu impor bekas oleh Menteri Perdagangan RI ini pun menuai banyak kritikan. Masyarakat RI mulai dari kalangan pelaku usaha thrifting, konsumen thrifting impor, hingga yang bukan pelaku thrifting sekalipun berbondong-bondong mengeluarkan pendapat pro dan kontranya. Masyarakat yang menolak upaya Kementerian Perdagangan (Kemendag), mengaitkan Permendag tersebut dengan dalih peluang usaha thrifting dan demi tujuan sustainable living.

Apa Itu Thrifting dan Sustainable Living?

Istilah Thrifting di dalam kamus Cambridge memiliki arti "berhati-hati di dalam memanfaatkan uang." Itu berarti ketika seseorang melakukan kegiatan thrifting, maka orang tersebut sedang menghemat uangnya. Pada awalnya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan penggunaan sumber daya secara hemat sehingga menimbulkan kesejahteraan. Namun seiring berkembangnya masa, istilah thrifting justru mengarah pada kegiatan membeli atau berbelanja barang hingga pakaian bekas dengan tujuan berhemat. Sejarah kegiatan thrifting pun sudah muncul sejak lama, yakni sekitar tahun 1760 hingga 1840-an di era revolusi industri. Melansir dari situs CNN Indonesia, di Indonesia sendiri budaya thrifting atau membeli pakaian bekas mulai muncul sejak tahun 1980-an. Di tahun 2000-an, kegiatan tersebut bukan hanya sekedar menjadi bentuk menghemat uang, tetapi justru sudah menjadi tren kekinian yang semakin digemari pemuda Indonesia.

Sedangkan sustainable living menurut WWF (World Wide Fund for Nature), merupakan istilah untuk menggambarkan gaya hidup yang menyeimbangkan upaya domestik dan global untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan yang paling penting adalah dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan alam dari ancaman degradasi.

Mengapa Masyarakat Memprotes?

Masyarakat Indonesia yang menolak tindakan Kemendag pada umumnya memiliki pendapat bahwa, seluruh pakaian bekas yang diimpor dari luar negeri masih dalam kategori layak pakai dan bahkan berkualitas bagus. Beberapa pelaku usaha thrifting juga menyebutkan bahwa negara-negara di Asia Tenggara lainnya pun melakukan impor tersebut. Begitu pula negara-negara maju di barat seperti Amerika Serikat dan Eropa yang terus melakukan ekspor pakaian bekas ke banyak negara di dunia. Sehingga, pakaian bekas impor ini dinilai telah menjadi komoditas global yang lumrah diperjualbelikan hampir ke seluruh negara termasuk Indonesia.

Bukan hanya itu, pendapat yang mendorong penolakan terhadap tindakan Mendag juga datang dari kalangan non pelaku usaha thrifting. Mereka yang tidak menjalankan usaha thrift shop berpendapat bahwa, tindakan pemerintah yang melarang impor pakaian bekas ini justru menutup mata pencaharian rakyat. Dengan maraknya usaha thrift shop yang berdiri di Indonesia, maka mereka menyebutkan akan banyak sumber pendapatan yang akhirnya mati akibat peraturan tersebut. Kemudian, disebutkan pula bahwa tidak ada tindakan lanjutan dari pemerintah untuk bertanggung jawab atas kondisi tersebut. Banyak yang mengatakan bahwa tindakan ini bak pedang bermata dua, sebab dengan dalih melindungi industri tekstil lokal pemerintah justru mematikan usaha lain dari masyarakat?

Beberapa kalangan pun bahkan berpikir bahwa usaha thrifting ini dapat menjadi jalan alternatif untuk menjalankan sustainable living. Dalam artian mereka bahwa dengan berbelanja pakaian bekas, maka mereka akan membantu meminimalisir limbah tekstil di Indonesia. Sehingga, kemunculan thrift shop dinilai sebagai usaha sustainable living melalui sustainable fashion. Para konsumen thrift shop ini juga menyatakan bahwa berbelanja pakaian bekas impor lebih menguntungkan dibandingkan membeli produk dalam negeri. Sebab, produk di dalam negeri cenderung overprice dengan kualitas yang tidak sepadan sebutnya.

Bagaimana Pendapat Pemerintah?

Perintah untuk memusnahkan barang-barang dan pakaian impor bekas yang dilakukan oleh Kemendag faktanya datang langsung dari presiden RI Joko Widodo. Beliau mengatakan bahwa, "Sudah saya perintahkan untuk mencari betul. Hal itu sangat mengganggu industri tekstil di dalam negeri. Yang namanya impor pakaian bekas mengganggu." Dengan begitu, Kemendag bersama Bareskrim Polri turun tangan untuk menindak praktik impor pakaian bekas. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah juga pernah menyebutkan sebelumnya bahwa, bisnis pakaian bekas atau thrift shop impor sangat mengancam pelaku UMKM.

Pemerintah memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa, setiap pakaian bekas dari negara lain yang masuk ke Indonesia akan menjadikan Indonesia sebagai negara penampung sampah. Meskipun bisnis pakaian bekas impor ini sangat ramai peminat, namun dampak buruknya memang terlihat jelas. Bukan hanya terhadap bisnis-bisnis lokal, melainkan juga terhadap kesehatan masyarakat. Berdasarkan hasil tes laboratorium, pakaian bekas yang diimpor tersebut mengandung jamur yang berbahaya untuk kesehatan kulit dan tidak hilang meski dicuci berulang kali.

Kemudian terkait usaha sustainable living, Deputi Bidang Usaha Kecil Menengah Kemenkop UKM justru mengatakan bahwa, keberadaan thrift pakaian bekas impor justru menimbulkan permasalahan lingkungan yang serius. Banyak dari total pakaian bekas impor tersebut berakhir di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Sebab, konsep sustainable living memang bukan semudah itu untuk diwujudkan. Terdapat kemungkinan bahwa tren thrifting impor ini justru akan meningkatkan total limbah fashion di Indonesia. Dengan kecenderungan masyarakat yang menyukai barang murah dengan notabene kualitas cukup bagus, maka memungkinkan mereka untuk membeli secara berulang kali hingga menumpuk. Sudah lah merebut sebagian mangsa pasar industri kecil dan mikro, masih berpotensi menyebabkan degradasi lingkungan? Belum lagi keberadaannya yang dinilai sebagai barang ilegal, maka proses masuknya ke dalam negeri pun tidak melalui proses pembayaran bea dan cukai.

Berbekal alasan-alasan tersebut, presiden RI Joko Widodo terus memerintahkan jajarannya untuk mencari dan membasmi para pelaku bisnis pakaian bekas impor. Beberapa partai seperti Partai Buruh dan juga Demokrat pun mendukung langkah presiden Joko Widodo.

Faktanya, memang banyak alasan yang mampu mendukung kebijakan presiden RI untuk melarang thrifting pakaian bekas impor. Mulai dari faktor kesehatan, kelestarian lingkungan, perlindungan terhadap produsen dalam negeri, perlindungan eksistensi kesempatan kerja melalui industri domestik, yang juga berujung pada perlindungan terhadap pendapatan negara. Jika dilihat dari banyaknya kritik yang disampaikan oleh masyarakat, mengisyaratkan bahwa tingkat pemahaman dan literasi masyarakat Indonesia masih sangat minimalis.

Pemerintah termasuk Kemendag RI pada dasarnya melarang kegiatan thrifting yang dilakukan melalui impor pakaian bekas. Dengan kata lain, produk bisnis tersebut berasal dari luar negeri dan bersifat ilegal. Bisnis thrifting tidak dikecam atau dilarang ketika itu melibatkan produsen atau industri di dalam negeri. Pemerintah bukan melarang kegiatan thrifting, namun hanya melarang jual beli pakaian bekas yang asalnya dari impor negara manapun.

Konsep yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat memang cukup cermat. Bahwa Indonesia akan menjadi tempat sampah jika terus menerus menampung pakaian bekas negara lain. Hal tersebut sejalan dengan isu politik lingkunguan global, di mana negara berkembang hanya dijadikan tempat sampah polusi oleh negara maju. Lagi-lagi, kebijakan pemerintah RI cukup bagus untuk bisa bangkit keluar dari lingkaran setan teori dependency.

Hanya saja, pemahaman dan kesadaran masyarakat masih harus terus dibangun dan ditingkatkan. Sehingga, kritik yang akan disampaikan selanjutnya dapat bersifat membangun negara dan tidak hanya menjudge tanpa literasi yang mendalam. Terlihat pula dari kritik yang diberikan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mencintai produk lokal. Hal tersebut yang juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah RI. Dan semoga, hadirnya tulisan ini dapat menambah sumber literasi untuk mewujudkan sinkronisasi kinerja pemerintah dan masyarakat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun