Mohon tunggu...
Ega Ayu Agustin
Ega Ayu Agustin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UNEJ

Saya sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Peraturan Anti Deforestasi dan Pertumbuhan Ekonomi, Mana yang Lebih Penting?

12 Maret 2023   20:57 Diperbarui: 12 Maret 2023   21:20 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu lingkungan merupakan salah satu permasalahan kritis yang banyak diperdebatkan oleh masyarakat internasional saat ini. Perubahan iklim ekstrem pun semakin dirasakan dan disadari oleh seluruh penjuru dunia. Kondisi tersebut menyebabkan adanya ketidakseimbangan situasi di berbagai negara.

Menurut CAMS (Copernicus Atmosphere Monitoring Service) Uni Eropa, sebagian besar negara di kawasan Eropa Barat mengalami suhu panas dan kekeringan panjang. Suhu panas akibat perubahan iklim tersebut pun berdampak pada terbakarnya ribuan hektare luas lahan dan hutan beberapa negara Eropa. Sebaliknya, ketika negara-negara Eropa itu mengalami kekeringan panjang, ibu kota Korea Selatan yakni Seoul justru menyambut lebatnya guyuran hujan. Curah hujan 90,5mm/jam yang bahkan memicu banjir bandang ini merupakan rekor tertinggi sejak 80 tahun terakhir bagi Seoul. Bencana alam akibat perubahan iklim ekstrem ini pun masih memiliki rentetan dampak lain yang menyengsarakan masyarakat internasional. Kemiskinan, krisis pangan, krisis air bersih hingga meningkatnya kasus gizi buruk dan kematian merupakan beberapa dampak lain yang dirasakan.

Berbagai bencana alam hingga krisis yang dialami oleh banyak negara di dunia tersebut tentu tidak terlepas dari isu lingkungan. Para pemimpin negara mulai menyadari, perubahan iklim ekstrem dan pemanasan global yang semakin tampak ini merupakan dampak dari menurunnya kualitas lingkungan dan alam. Deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam proses pemanasan global dan kerusakan alam. Deforestasi dapat diartikan sebagai proses penggundulan hutan akibat ulah manusia yang menyebabkan perubahan kondisi hutan menjadi non hutan. Dan, degradasi hutan mengarah pada terjadinya penurunan keanekaragaman di dalam hutan, termasuk cadangan karbon yang juga disebabkan oleh kegiatan manusia. Keduanya membuat konsentrasi dari gas rumah kaca meningkat, sehingga suhu udara global menjadi tinggi. Proses ini juga dikenal dengan Radiative Forcing.

Apa Yang Dilakukan Uni Eropa?

Situasi tersebut yang kemudian membuat banyak aktor hubungan internasional berbondong-bondong menyuarakan isu lingkungan. Mereka bahkan membentuk kebijakan yang mengatur permasalahan lingkungan ini. Salah satu kebijakan yang cukup kuat menarik perhatian, khususnya dari masyarakat Indonesia adalah kebijakan Uni Eropa. Pada Desember 2022 lalu, Parlemen Eropa bersama Dewan Uni Eropa menyepakati sebuah Peraturan Uji Tuntas baru yakni EUDDR (European Union Due Dilligence Regulation).

Peraturan Uji Tuntas dari Uni Eropa atau EUDDR ini merupakan proposal peraturan yang sebelumnya diajukan oleh Komisi Eropa, tepatnya pada tahun 2019 lalu. EUDDR memuat kebijakan Uni Eropa yang melarang komoditas dan produk hasil kegiatan deforestasi untuk masuk ke pasar dalam negerinya. Setiap perusahaan yang hendak menjual hasil produksinya ke pasar Uni Eropa, wajib membuat pernyataan uji tuntas. Pernyataan tersebut harus menunjukkan bahwa rantai pasokan di dalam proses produksi mereka tidak melibatkan aktivitas deforestasi dan degradasi hutan.

Beberapa komoditas yang tercakup dalam EUDDR di antaranya adalah kelapa sawit, kakao, kopi, karet, kayu, kedelai, dan daging sapi beserta produk-produk lain yang merupakan turunannya. Secara tentatif, Uni Eropa akan mulai memberlakukan peraturan tersebut pada kisaran bulan Mei hingga Juni 2023. Namun, untuk UKM (Usaha Kecil Menengah) baru akan diterapkan mulai Juni 2025.

Peraturan Uji Tuntas atau EUDDR dibuat dengan tujuan dari negara-negara Eropa untuk ikut ambil peran dalam upaya mitigasi krisis iklim. Tujuan tersebut didasari oleh informasi FAO (Food and Agriculture Organization) tentang 420 juta hektare luas hutan yang hilang di tahun 1990-2020, tentunya akibat ulah manusia. Dan Uni Eropa merupakan salah satu konsumen dari komoditas pertanian yang berkaitan dengan kegiatan deforestasi tersebut. Kebijakan Uni Eropa yang mengisyaratkan kesadaran akan pentingnya melindungi lingkungan ini menuai beragam respon, khususnya dari negara-negara produsen untuk pasar Eropa.

Bagaimana Reaksi Indonesia?

Indonesia termasuk salah satu produsen terbesar dari komoditas kelapa sawit untuk pasar Eropa. Meskipun EUDDR belum diberlakukan, banyak desas-desus yang beredar terkait pemerintah Indonesia yang hendak menggugat Uni Eropa di WTO (World Trade Organization). Gugatan yang dikabarkan hendak diajukan ini terkait RED II (Renewable Energy Directive II), ILUC (Indirect Land Use Change), dan juga termasuk EUDDR (European Union Due Dilligence Regulation). Latar belakang dari kabar gugatan tersebut tak lain adalah penolakan terhadap beberapa peraturan Uni Eropa yang dinilai diskriminatif terhadap sawit.

Presiden Joko Widodo pun sempat memberi tanggapan terkait kebijakan yang dinilai akan bersifat diskriminatif tersebut. Kebijakan-kebijakan dari negara maju itu dinilainya sebagai sebuah "tantangan," dan seharusnya tidak didiamkan begitu saja oleh negara berkembang. Presiden RI ini pun menilai bahwa, beberapa regulasi yang dirancang Uni Eropa tersebut memiliki potensi untuk menghambat kemudahan perdagangan dan investasi. Padahal, keduanya dirasa berperan penting dalam membangun ketahanan ekonomi di tengah resesi.

Minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil) yang termasuk komoditas di dalam EUDDR pun merupakan salah satu penghasilan ekspor terbesar bagi Indonesia. Sebelum munculnya peraturan dari Uni Eropa terkait deforestasi, pemerintah Indonesia juga sempat memberlakukan moratorium sawit. Regulasi tersebut menghentikan pemberian izin untuk pembukaan hutan yang hendak dijadikan lahan perkebunan sawit baru. Hal itu juga disebut sebagai usaha untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan. Di bawah rezim Joko Widodo, Indonesia juga telah menghasilkan beragam kebijakan terkait tata kelola hutan berkelanjutan, serta perdagangan hasil hutan.

Di sisi lain, tanggapan dari komunitas berbasis lingkungan seperti Greenpeace tentu sedikit berbeda dengan pemerintah Indonesia. Greenpeace Indonesia justru menghimbau pemerintah RI untuk tidak beranggapan bahwa regulasi Uni Eropa akan berujung diskriminatif. Organisasi lingkungan internasional ini menilai bahwa Peraturan Uji Tuntas atau EUDDR Uni Eropa selaras dengan komitmen pemerintah RI, yakni untuk menekan tingkat deforestasi di Indonesia. Regulasi dari Uni Eropa ini justru dianggap akan mampu membantu para petani sawit, terutama petani yang telah mengimplementasikan praktik minyak sawit berkelanjutan. Tentu dengan syarat bahwa Uni Eropa harus mempererat interaksi dan kerja sama dengan petani-petani tersebut, sehingga mereka mampu memenuhi pernyataan uji tuntas.

Begitu juga reaksi tak terduga yang datang dari komunitas petani sawit nasional, mereka justru menanggapi dengan baik regulasi Uni Eropa terkait deforestasi. Petani kelapa sawit tanah air pun berbondong-bondong melakukan sertifikasi RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Mereka beranggapan bahwa dengan regulasi deforestasi dan sertifikasi RSPO, maka produk mereka akan lebih dipercaya dan tidak diragukan di lingkup internasional.

Berbagai respon yang dituai dari regulasi tentang larangan deforestasi ini mengisyaratkan bahwa, keterkaitan ekonomi dan politik sejatinya memang  cukup kuat. Kebijakan Eropa untuk memberlakukan EUDDR memang lumrah mendapat beragam tanggapan. Indonesia sebagai negara berkembang pun patut waspada terhadap regulasi-regulasi yang berpotensi mendiskriminasi. Sebagaimana teori dependency yang hadir untuk menggambarkan bahwa negara core tidak akan membiarkan negara periphery menjadi lebih kuat dan maju. Namun, tidak dapat disangkal juga bahwa dengan situasi bumi yang semakin memprihatinkan, maka tingkat kepedulian manusia terhadap lingkungan alam juga harus turut ditingkatkan.

Seharusnya, kelestarian lingkungan hidup bisa berjalan sejajar dengan kepentingan ekonomi. Sebab keduanya sama penting, kondisi lingkungan hidup juga dapat mempengaruhi kualitas ekonomi. Bukan tentang satu atau dua hari ke depan, tetapi untuk masa yang panjang. Negara yang menerapkan regulasi dengan risiko, seperti halnya regulasi terkait deforestasi dari Uni Eropa ini sebaiknya menampakkan komitmen dan juga transparansinya. Sehingga dapat memberikan kepastian dan kepercayaan penuh bagi masyarakat internasional. Sebagai pengamat dunia internasional, masyarakat juga diharapkan mampu menilai sebuah permasalahan tidak hanya melalui satu sisi saja. Dan semoga, hadirnya tulisan ini dapat menjadi bahan pengingat untuk membantu mewujudkan hal tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun