Mohon tunggu...
Ega Asnatasia Maharani
Ega Asnatasia Maharani Mohon Tunggu... Dosen - A wanderer soul

Psikolog, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh studi S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM) bidang Clinical Psychology.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jika Setiap Peristiwa Butuh Alasan, Apa Alasan Kita?

9 Oktober 2021   23:11 Diperbarui: 10 Oktober 2021   17:27 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka yang ditinggalkan akan belajar menjaga apa yang dimiliki. Anak-anak yang menerima pengasuhan buruk akan belajar memaafkan dan mencintai. Orang yang dikhianati akan tumbuh bergantung pada dirinya sendiri.

2) Sebuah peristiwa dapat menjadi jalan untuk mengubah keyakinan lama. 

Ketika hal buruk terjadi pada situasi yang seharusnya bisa kita kontrol, kemungkinan besar itu akan melukai ego kita. Rasanya seolah jatuh dari tempat yang tinggi, ke kesadaran bahwa apa yang sebelumnya kita lakukan dan yakini, ternyata tidak sepenuhnya benar. Keyakinan lama kita pecah ke dalam realitas yang lebih sempit sehingga bisa diuji kebenarannya.

Konsekuensi berikutnya, kita jadi bisa melihat sesuatu dengan cara berbeda. Kita belajar mendekati peristiwa dengan perspektif baru. Keyakinan memang umumnya begitu mandarah daging karena terbentuk perlahan sejak kita masih kecil. Satu-satunya cara yang cukup kuat untuk kita mengevaluasinya kembali adalah dengan mengujinya lewat peristiwa yang riil.

3) Setiap peristiwa sesungguhnya adalah tentang kemajuan, bukan kesempurnaan. 

Seringkali kita tumbuh dengan pemikiran bahwa semakin tinggi pengalaman, maka semakin dekat pula dengan kondisi hidup ideal. Padahal, hidup adalah tentang membuat kemajuan-kemajuan kecil setiap hari. Kemajuan itu bisa teramat kecil sehingga kita tidak menyadarinya. Sebagai contoh, pernahkah diri kita yang 10-15 tahun lalu berpikir bahwa suatu saat sosok kita hari ini akan terwujud?. Dengan cara yang sama, bagaimana kita membayangkan diri sendiri 10-15 tahun yang akan datang?. Proyeksi setiap orang bisa berbeda, namun kita akan cenderung menggambarkan 'kondisi ideal' setiap kali ditanya tentang masa depan. Umur 30 sudah menikah, umur 40 sudah memiliki asset dan investasi, umur 50 pensiun dini, dst... Dengan kata lain, kesempurnaanlah yang jadi kompasnya. Padahal untuk menuju kondisi besar itu, kita perlu memperpendek arah pandang dan memecahnya ke tujuan-tujuan kecil yang bisa dicapai setiap hari. Dengan melihat bahwa setiap peristiwa adalah kemajuan, kita akan mampu bertahan lebih kuat di situasi sulit.

Sebagai manusia, kita telah memiliki sumber-sumber kekuatan psikologis untuk menghadapi berbagai kesulitan  hidup. Hal ini bisa berbentuk strategi kognitif untuk memperluas penjelasan akan suatu peristiwa dan alternatif solusinya, atau strategi  emosi untuk mengatasi kecemasan, ketakutan, dan kemarahan yang seringkali datang bersamaan dengan peristiwa buruk. Dengan demikian, hidup akan jauh lebih bermakna bahkan ketika suatu hal terjadi tanpa rencana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun