Mohon tunggu...
Ega Asnatasia Maharani
Ega Asnatasia Maharani Mohon Tunggu... Dosen - A wanderer soul

Psikolog, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh studi S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM) bidang Clinical Psychology.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menakar Literasi Kesehatan Mental

23 Februari 2020   16:53 Diperbarui: 24 Februari 2020   05:16 1738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: National Alliances on Mental Illness

Sepekan ini linimasa media sosial cukup ramai membicarakan kasus tentang Dedy Susanto (DS), seorang Doktor Psikologi yang diduga menyalahgunakan wewenang akademik, melakukan pelanggaran kode etik, dan juga pelecehan seksual kepada sejumlah kliennya. 

Poin menariknya, jangka waktu yang cukup lama untuk DS mem-branding dirinya dan berani melakukan sejumlah aktivitas secara terbuka memunculkan pertanyaan: mengapa baru sekarang? Mengapa selama ini masyarakat sangat mudah mempercayainya? Apakah tenaga profesional kurang menjalankan tugasnya, sehingga edukasi tentang gangguan mental belum benar-benar menyentuh masyarakat luas?

Literasi Kesehatan Mental

Terjadinya kasus DS tentu dapat dipahami dari berbagai sudut pandang. Tulisan ini bertujuan melengkapi berbagai pendapat yang sudah ada melalui kerangka literasi kesehatan mental.

Istilah ini merujuk pada pengetahuan tentang gangguan mental yang ditandai oleh: pengetahuan dalam memperoleh dan mempertahankan kondisi mental yang sehat, menghindarkan diri dari stigma tentang gangguan mental, pengenalan gejala spesifik gangguan mental, penyebabnya, dan pengetahuan tentang cara mengakses bantuan profesional saat diperlukan.

Literasi kesehatan mental (mental health literacy - MHL) sendiri merupakan domain dari Health Literacy (HL) yang lebih dulu dikenal oleh masyarakat. Istilah HL lebih dikenal di dunia medis karena fokusnya pada kemampuan memahami dan menggunakan informasi medis.

Sebagai contoh, kemampuan memahami aturan pakai obat-obatan, memahami alur pemeriksaan medis, atau memutuskan kapan seharusnya pergi menemui dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Sejumlah studi telah melaporkan bahwa pertumbuhan MHL memang tidak secepat HL, terutama di negara-negara berkembang.

Sebagai bagian dari Health Literacy, tingkat kesadaran masyarakat tentang kesehatan mental memang belum sepenuhnya mencapai hasil yang diharapkan. Kasus DS menjadi wake up call yang cukup serius mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya justru memperburuk kondisi mental 'klien-kliennya'. 

Masyarakat Indonesia umumnya belum memahami bahwa kondisi psikologis seseorang dibentuk oleh serangkaian faktor dan kondisi yang sangat kompleks, sehingga penanganan masalah-masalah psikologis juga umumnya memerlukan waktu cukup lama.

Berbeda dengan penyakit fisik, gangguan mental tidak memiliki patologi klinis yang memungkinkan diobservasi secara cepat. Pemeriksaan darah, urine, atau jaringan tubuh lain tidak memberikan informasi untuk penegakan diagnosis sebagaimana gangguan fisik.

"Celah" inilah yang kemudian dimanfaatkan dengan cerdik oleh DS. Dengan menawarkan training massal, para peserta diajak melakukan 'detox' dari masalah-masalah pribadi yang hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja. Peserta yang umumnya datang dengan kondisi penuh tekanan psikologis, tentu akan merasakan efeknya secara instan. 

Di dalam dunia medis dikenal pula istilah placebo effect, yaitu adanya manfaat dari suatu treatment yang dirasakan seseorang karena ia percaya telah mendapatkan pengobatan yang sesuai. Padahal, treatment tersebut tidak mengandung bahan aktif yang secara langsung menyembuhkan penyakit. Hal yang sama juga bisa terjadi pada mekanisme psikologis. 

Sebagai contoh sederhana, Anda bayangkan ketika berada di situasi yang penuh tekanan, lalu Anda bertemu sahabat baik kemudian mendapat pelukan darinya, otomatis tubuh akan menerima perlakuan itu sebagai wadah pelepas stres.

Akibatnya Anda akan merasa jauh lebih 'ringan' dan bisa melihat masalah dengan lebih jelas. Sampai disini saja sebenarnya efek placebo itu bekerja, krn pada dasarnya akar masalah tidak terselesaikan melalui pelukan yang Anda dapatkan.

Pada kasus DS, aktivitas ini ditambah dengan teknik-teknik hypnotherapy yang menyentuh alam bawah sadar peserta sehingga efeknya terasa lebih maksimal.

Teknik ini tentu boleh digunakan jika sesuai porsinya. Namun dalam kondisi masyarakat dengan literasi kesehatan mental rendah, seharusnya perlu dipertegas bahwa metode ini bukan 'obat generik' yang bisa digunakan untuk semua masalah psikologis.

Alih-alih membuat peserta merasa sembuh total, seharusnya praktisi seperti DS terbuka pada batasan-batasan yang dimilikinya dan bersedia berjejaring dengan profesional yang kompeten untuk melakukan psikoterapi di tahap berikutnya jika diperlukan.

Problem help-seeking behavior seperti ilustrasi di atas merupakan efek langsung rendahnya literasi kesehatan pada masyarakat. Kita cenderung tidak tahu bagaimana mencari bantuan profesional meskipun mungkin sudah merasakan gejala ketidakseimbangan di dalam tubuh-pikiran-dan perasaan.

Terbatasnya pengetahuan dalam mencari bantuan ini sebenarnya berkaitan juga dengan aspek lain dalam literasi kesehatan mental, yaitu pengetahuan tentang berbagai gangguan mental dan gejala apa saja yang muncul sebagai indikatornya. 

Berbagai studi mengenai literasi kesehatan mental menemukan umumnya masyarakat hanya mengenali beberapa gangguan mental saja yaitu depresi, gangguan mood, dan skizofrenia.

Pada sebuah studi yang dilakukan di Indonesia tahun 2017, justru ditemukan anggapan bahwa stres, kurang percaya diri, penurunan motivasi, dan ketidakmampuan memecahkan masalah sebagai bentuk gangguan mental. 

Padahal gejala-gejala tersebut sebenarnya adalah bentuk problem psikologis, yang bisa saja berdiri sendiri tanpa masuk kategori gangguan mental.

Konsekuensi dari rendahnya pemahaman ini menyebabkan masyarakat cenderung mencari dukungan dari orang-orang terdekat saja daripada mencari bantuan profesional. Gangguan mental dipercaya dapat sembuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

Stigma dan Budaya.

Musuh utama tercapainya literasi kesehatan mental adalah stigma dan pengaruh budaya. 9 dari 10 orang dengan problem mental dilaporkan mengalami diskriminasi dalam hal: mendapat pekerjaan, memiliki hubungan jangka-panjang yang stabil, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial. 

Hal ini dikarenakan adanya stigma yang melekat bahwa gangguan mental berasosiasi dengan "kekerasan" , "disabilitas", dan "berbahaya".

Padahal faktanya, mereka yang mengalami gangguan mental lebih dimungkinkan menerima serangan atau membahayakan diri sendiri dibanding membahayakan orang lain.

Pada salah satu chapter buku "Loving the Wounded Soul: Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia", Regis Machdy, penulis sekaligus penyintas gangguan depresi menggambarkan bagaimana stigma masih terbentuk dalam persepsi masyarakat awam. Depresi kerapkali dianggap sebagai jiwa yang lemah, kurang bersyukur, bahkan kurang beriman. 

Akibatnya, mereka yang secara terbuka mengaku mengalami depresi kurang mendapat dukungan untuk mencari penanganan yang tepat dan justru dianggap sedang mencari perhatian.

Stigma yang sama masih terus mengikuti bahkan ketika penderita depresi melakukan percobaan bunuh diri. Kecaman, makian, judgement akan mudah sekali dilontarkan tanpa kita mau sungguh-sungguh memahami mengapa dorongan bunuh diri itu muncul.

Tantangan berikutnya ada pada faktor budaya. Masyarakat yang menganut nilai kebersamaan (collectivism) dan dipengaruhi budaya supranatural yang kuat cenderung memiliki literasi kesehatan mental rendah. Populasi di Asia dan Afrika dilaporkan memiliki stigma yang lebih tinggi dibandingkan populasi di masyarakat Eropa.

Hal ini dikarenakan budaya kebersamaan menyebabkan individu mudah memasuki wilayah privat individu lain bahkan tanpa diminta. 

Pada masyakarat kita, sudah umum pertanyaan-pertanyaan semacam "kapan kamu menikah?" , "apa agamamu?", "Kapan menambah anak lagi?" dst sebagai bagian interaksi sosial.

Bagi orang dengan gangguan mental, pertanyaan mengenai masalah yang dihadapinya tentu tidak nyaman untuk didiskusikan. Sehingga akhirnya lebih mudah bagi mereka untuk menutupinya dan merespon dengan ungkapan "saya baik-baik saja".

Mempromosikan Literasi Kesehatan Mental
Target populasi paling krusial untuk dibidik sebagai area peningkatan literasi kesehatan mental adalah remaja. Menurut data National Alliances on Mental Illness (NAMI), 50% kasus gangguan mental diawali di usia 14 tahun atau periode remaja.

Hasil serupa juga ditemukan di Indonesia, dimana 50% pelajar Sekolah Menengah Atas memiliki indikasi gejala depresi.

Dengan resiko sebesar ini, remaja yang mengalami masalah mental juga harus berhadapan dengan sejumlah stigma: menjadi bahan gosip, dijauhi, kehilangan pertemanan, mendapat ekspresi ketakutan dari lingkungan sosial, dan dianggap tidak memiliki kemampuan. 

Inilah mengapa setiap remaja seharusnya memiliki kemampuan mengenali emosinya sendiri, termasuk berbagai kemungkinan gangguan psikologis dan dan gangguan mental yang menyertainya. Remaja harus diajarkan bahwa menyadari perasaan (yang negatif atau menyakitkan sekalipun) bukanlah hal yang harus disembunyikan.

Kesadaran ini justru akan mendorong remaja mudah terbuka akan kebutuhannya dan mencari tindakan pencegahan untuk hal-hal lain yang lebih serius.

Source: National Alliances on Mental Illness
Source: National Alliances on Mental Illness
Kampanye meningkatkan literasi ini idealnya dimulai dari sekolah, karena rata-rata remaja menghabiskan sebagian besar waktunya di sini.

Selama ini kita sudah memiliki paradigma pentingnya mata pelajaran olahraga dimasukkan dalam kurikulum karena kita mengetahui pentingnya kesehatan dan pertumbuhan fisik di usia remaja. 

Paradigma yang sama seharusnya diberikan juga pada kesehatan mental. Prioritas "school well-being" yang saat ini banyak dicanangkan di sekolah sebaiknya tidak hanya berorientasi pada pembentukan lingkungan yang sehat, aman, dan inklusif tetapi juga melibatkan peserta didik secara aktif untuk mengelola kesehatan mental yang positif. 

Sekolah juga seharusnya ambil bagian dalam membantu remaja mengenali mana problem psikologis yang tergolong normal dan mana yang butuh penanganan lebih lanjut, menekan budaya pembentukan stigma, dan membekali remaja dengan panduan bagaimana mencari bantuan profesional untuk kesehatan mental.

Rentetan masalah dan potensi bahaya yang muncul dari kasus "Doktor Psikologi" ini tidak boleh lagi membuat kita abai pada pentingnya literasi kesehatan mental. Masih mungkin akan muncul lagi Dedy Susanto -- Dedy Susanto lainnya yang menyerang titik lemah di saat kondisi psikologis kita tidak seimbang. 

Memiliki literasi kesehatan mental yang baik akan membantu kita melihat kualitas "figur penyembuh" dengan jelas; bukan pada keindahan kata-katanya, kemampuan persuasinya, atau teknik self-branding nya tapi betul-betul pada kompetensi profesionalnya.

Ega Asnatasia Maharani - Psikolog, Dosen FKIP UAD Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun