Pada masyakarat kita, sudah umum pertanyaan-pertanyaan semacam "kapan kamu menikah?" , "apa agamamu?", "Kapan menambah anak lagi?" dst sebagai bagian interaksi sosial.
Bagi orang dengan gangguan mental, pertanyaan mengenai masalah yang dihadapinya tentu tidak nyaman untuk didiskusikan. Sehingga akhirnya lebih mudah bagi mereka untuk menutupinya dan merespon dengan ungkapan "saya baik-baik saja".
Mempromosikan Literasi Kesehatan Mental
Target populasi paling krusial untuk dibidik sebagai area peningkatan literasi kesehatan mental adalah remaja. Menurut data National Alliances on Mental Illness (NAMI), 50% kasus gangguan mental diawali di usia 14 tahun atau periode remaja.
Hasil serupa juga ditemukan di Indonesia, dimana 50% pelajar Sekolah Menengah Atas memiliki indikasi gejala depresi.
Dengan resiko sebesar ini, remaja yang mengalami masalah mental juga harus berhadapan dengan sejumlah stigma: menjadi bahan gosip, dijauhi, kehilangan pertemanan, mendapat ekspresi ketakutan dari lingkungan sosial, dan dianggap tidak memiliki kemampuan.Â
Inilah mengapa setiap remaja seharusnya memiliki kemampuan mengenali emosinya sendiri, termasuk berbagai kemungkinan gangguan psikologis dan dan gangguan mental yang menyertainya. Remaja harus diajarkan bahwa menyadari perasaan (yang negatif atau menyakitkan sekalipun) bukanlah hal yang harus disembunyikan.
Kesadaran ini justru akan mendorong remaja mudah terbuka akan kebutuhannya dan mencari tindakan pencegahan untuk hal-hal lain yang lebih serius.
Selama ini kita sudah memiliki paradigma pentingnya mata pelajaran olahraga dimasukkan dalam kurikulum karena kita mengetahui pentingnya kesehatan dan pertumbuhan fisik di usia remaja.Â
Paradigma yang sama seharusnya diberikan juga pada kesehatan mental. Prioritas "school well-being" yang saat ini banyak dicanangkan di sekolah sebaiknya tidak hanya berorientasi pada pembentukan lingkungan yang sehat, aman, dan inklusif tetapi juga melibatkan peserta didik secara aktif untuk mengelola kesehatan mental yang positif.Â
Sekolah juga seharusnya ambil bagian dalam membantu remaja mengenali mana problem psikologis yang tergolong normal dan mana yang butuh penanganan lebih lanjut, menekan budaya pembentukan stigma, dan membekali remaja dengan panduan bagaimana mencari bantuan profesional untuk kesehatan mental.