Mohon tunggu...
Ega Ariyanti
Ega Ariyanti Mohon Tunggu... Penulis - Orang biasa-biasa saja

Terima kasih atas partisipasi pembaca! Mohon kritik dan saran supaya penulis bisa lebih baik lagi :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Jangan Mencela, Doakan Jika Itu Usaha Terbaikmu!

18 April 2019   19:32 Diperbarui: 18 April 2019   19:38 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tampak Ria menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk mata. Sementara Bu Yatmi sepertinya sudah kebal dengan perasaannya. Arsa yang masih balita hanya bisa menatap ibunya dan terheran-heran akan setiap kata yang terucap.

"Apa Bu Yatmi tidak pernah marah akan keadaan?" Tanya Ria.

"Awalnya saya marah dan sedih. Kenapa gusti Allah seperti ini pada saya. Tetapi saya pikir-pikir lagi, sepertinya Allah akan mengangkat derajat saya. Mungkin suami saya akan sembuh atau pekerjaan saya bisa lebih layak dan bisa menabung untuk masa depan Arsa."

Ria menggenggam tangan Bu Yatmi dengan sungguh-sungguh, "Saya akan membayar seluruh biaya sekolah Arsa dari dia paud sampai kuliah. Bu Yatmi tenang saja. Dan Bu Yatmi boleh bekerja di rumah ini."

Bu Yatmi menangis, "Kita sebelumnya tidak saling kenal mbak. Kenapa mbak begitu baik? Kenapa bisa percaya semudah ini?"

"Saya tidak tau bu. Rasanya sulit membayangkan jika saya diposisi Bu Yatmi. Tegar dan kuat. Dan hati saya yakin, ibu adalah orang yang baik. Saya juga sudah izin nenek saya selaku pemilik rumah ini dan beliau mengizinkan."
Arsa tiba-tiba menghampiri Ria dan memeluk wanita itu.

Dari jendela, nenek Ria melihat semua yang terjadi, ia memegang sebuah figura, dan berkata, "Lihat anak kalian, didikannya tumbuh hingga kedalam darah dan hatinya bukan hanya dikulitnya saja."

Ingat ini hanyalah cerita fiksi yang saya harap kalian bisa memetik sesuatu di dalamnya. Yang jelas sebagai manusia carilah sesuatu dari banyak sisi. Lihatlah satu hal dari berbagai sudut pandang supaya tidak keliru dalam menafsirkan, barangkali bukan keliru hanya saja kurang tepat.

Seorang pengemis, mengemis karena terpaksa atau melihat keadaannya. Ada juga karena ingin kaya dengan cara instan. Ada juga karena tidak ada lagi yang bisa di toleh. Kita tidak tau motif mana yang digunakan oleh pengemis yang sering kita temui dijalan. Tetapi ada baiknya tak mencela. Jika ada hal yang bisa kita lakukan untuk membantunya, bantulah. Jika tidak, kata ibuku, doakanlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun