Mohon tunggu...
Ega Wiyono
Ega Wiyono Mohon Tunggu... -

Mudah memahami orang lain namun tidak mudah memahami diriku sendiri. Mudah menerima keluh kesah orang lain namun sulit mengatasi keluh kesahku sendiri. Hmmm...Aku hanya dapat merasakan namun sulit mengatakan. Bahkan orang lain tidak dapat mendeskripsikan diriku hanya dengan sepatah kata berbicara denganku... You want a try....???

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bukan Waktu yang Terlambat, Tapi Aku...

1 April 2010   07:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:03 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seperti halnya kalian...aku juga bisa merasakan, mendengar, dan sebagainya. Sebut saja ini sebuah perasaan dimana menyesal selalu terjadi di belakang.
Bertahun-tahun yang lalu, bahkan 4 tahun kemarin aku bahkan tidak pernah berpikir *terlintas pun tidak dibenakku* bahwa aku akan hidup dalam trauma seperti ini. Aku melewati hari tanpa beban layaknya anak yang belum baligh *dewasa*. menjalani bahkan merasakan sesuatu seakan-akan ringan dan akan berakhir bahagia. Meskipun saat itu aku sudah menginjak bangku SLTA. Apakah aku bodoh? Atau bahkan tidak bisa berpikir? Ya...jika itu yang bisa di katakan untuk menilai diriku, silahkan saja.
Tapi itulah manusia...sekarang kita akan berpikir kejadian 2 atau 3 tahun lalu itu sangat memalukan, sangat gak masuk akal, sangat ini dan itu... Tapi jika sekarang kita berpikir bahwa saat ini kita berpijak di tempat yang salah, bahwa kita akan menyesalinya suatu saat...itu tidaklah mudah. Karena apa yang kita pikirkan sekarang tidak ada bahkan belum terbentuk saat 2 atau 3 tahun lalu... Itulah yang biasa orang bilang penyesalan.
*Kembali ke topik*
Sampai aku kuliah kemarin pun aku bahkan menjalaninya tanpa beban...kalaupun ada beban, ya itu hanya sedikit mengenai kuliah dan pelajaran. Tidak pernah terpikirkan bahwa aku kuliah untuk apa, harus bagaimana, dan apa yang sebaiknya kulakukan. Hingga di menit2 terakhir masa kuliahku aku baru menyadari sedikit demi sedikit. Saat dia mulai tidak berdaya, saat dia mulai pasrah, bahkan saat dia sudah sekarat aku baru memikirkannya.
Kujalani kuliahku dengan tekad dan harapan bahwa aku akan lulus tepat waktu untuk mewujudkan mimpinya, untuk membahagiakannya meski kebahagian itu hanya sebesar biji jintan jika dibandinkan dengan pengorbanannya.
Sayang dia tidak disana saat tali togaku berpindah. Hingga aku lulus dengan nilai dan prestasi yang baik dia tidak menyaksikannya. Tapi aku tau ada sejuta harapan dan bahagia yang dia rasakan saat itu. Begitu juga aku, harapan untuk memiliki pekerjaan agar dapat membuatnya berdiri tegar lagi sangatlah besar. Sayang...aku seperti mengejar waktu yang melaju meninggalkanku. Karena posisiku berada pada satu titik dengan 2 arah berbeda, aku dilema.
Dia mulai tidak kuat, aku merasakannya. Namun dia memaksa aku untuk tetap berusaha dan mempertahankan pekerjaan itu. Aku tau jika aku bekerja, dia akan bangga sekali. Jadi aku memutuskan untuk tidak menemuinya. Aku tau dia juga tidak mau aku melihatnya dalam ketidakuatannya itu.
Hingga akhirnya dia meminta aku segera menikah. Aku menurutinya dengan mengorbankan pekerjaanku. Disitulah aku lihat betapa semangatnya untuk tetap bertahan melihat aku nikah sangat kuat. Dia terlihat mulai kokoh.
Namun sayang...detik-detik aku bersamanya sangat sedikit mengingat statusku sudah menjadi seorang istri. Aku harus mengikuti suamiku. Ya...setelah bertahun-tahun kuliah aku pulang dengan acara pernikahanku yang singkat. Tapi aku bertekad Idul Fitri nanti aku harus bersamanya.
Memang itu terjadi...tapi aku tidak mengerti. Mengapa saat kami berkumpul dia kelihatan kuat. Tapi saat kami sudah berjauhan, dia selalu tidak berdaya. Aku mulai resah. Disinilah titik penyesalanku mulai muncul. Namun aku berkeyakinan bahwa Allah *Tuhanku* Maha Adil dan Maha Pemurah. Dia pasti akan memberikan aku sedikit waktu lagi untuk bersamanya.
Hingga puncaknya hari itu, aku merasakan kakiku tidak sanggup berdiri lagi. Dia pergi, jangankan untuk berbicara satu kata terakhir denganku...senyum terakhirnya pun tidak kulihat karena aku tidak disisinya. Penyesalanku kian bertambah... Padahal pagi sebelum kepergiannya aku masih yakin jika jodoh...Tuhan akan mempertemukan aku kembali meski hanya semenit. Tapi keyakinanku terpatahkan saat yang kutemukan hanya jasadnya. Tuhan mengambilnya kembali sangat cepat dari yang aku duga. Itulah yang jika kupikir-pikir tidak pernah terlintas sedikitpun dibenakku. Bahwa umur tidak ada yang tau, bahwa waktu tidak akan menunggu...tidak pernah kupikirkan itu kemarin2.
Ibu...aku sedih engkau meninggalkanku terlalu cepat, tapi aku juga senang engkau pergi dengan senyum mu terindah. Dan aku tau...itu karena malaikat menjemputmu dengan sejuta senyum juga.
Ibu...aku akan mencoba menjadi yang lebih baik. Menebus waktu yang kemarin kulewati bagai balon udara. Meskipun makin kesini, aku merasa penyesalanku justru semakin besar. Bukannya semakin berkurang... Terlalu banyak memang yang terlewati kemarin... Hingga apapun yang kualami selalu teringat pada ibu, apa yang kulakukan terobsesi pada ibu... Apakah ini trauma???

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun