Mohon tunggu...
Efrydinata Putra
Efrydinata Putra Mohon Tunggu... -

Ybs punya banyak keinginan yang belum kesampaian dan belum diperjuangkan. Ybs, sejak mengisi Deskripsi Profil ini berniat untuk bertaubat dan lebih rutin menulis, salah satu dari banyak keinginan yang belum kesampaian dan belum diperjuangkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saya Dipanggil Om!

26 September 2014   04:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:29 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa ya namanya. Mungkin takut merasa menua. Sindrom galau manusia usia jangkauan seperlima hingga seperempat abad.

Hari tadi saya dan seorang kawan (sekantor, seangkatan) bertandang ke salah satu SMA. Biasalah, masalah pekerjaan. Tinjau-meninjau.

Berniat wudhu untuk shalat zuhur di mushalla sekolah ybs, tiba-tiba saya merasa kepingin pipis. Di tempat wudhu, saya bertanya kepada seorang siswa yang tetiba tampak.

Saya : "Dek, WC-nya dimana ya?"
Siswa : "Oh, di sanaom. Gedung sana ituom. Pas di tengahnya ituom."
Saya : "Oh, iya. Jauh ya, haha."
Kawan saya : "Bwakakakakakakaakaka"

Saya dipanggilom. Tiga kali. Sakitnya tuh di sini.

Di usiaku ini,twenty fourth of my age, saya masih merasa belia laksana mahasiswa yang baru setahun-dua menjalani kuliah. Masih (memaksakan diri) berbangga hati menjadiabang-abang mahasiswa ganteng. Padahal kenyataannya sudah tiga tahun yang lampau saya diwisuda.

Kawan-kawan seangkatan di kantor, di media sosial, dimana-mana sepertinya kena sindrom yang sama. Tak sudi dipanggil om. Panggil abang atau kakak saja. Masih muda ini.

Padahal penampilan sudah berubah. Beberapa tahun lalu, rumusdress codeya begini:

ngampus = kaos distro + kemeja kasual + celana jeans + sweater + sepatu kets + gelang tribal

Sekarang ya kelihatan jelas adanya revolusi fesyen:

ngantor = kemeja polos + celana bahan + jam tangan swiss army + sepatu kulit mengilap

Terlihat kan perubahannya? Yang gak bisa lihat, kelewatan. Bacanya.

Menurut saya, adanya perubahan ini bersumber dari pengaruh lingkungan pergaulan. Di kantor (saya), bapak2 usia 42 tahun nyambung2 saja ketawa-ketiwi dengan saya yang usia 24. Selera humor antara generasi berbeda satu, dua atau tiga dasawarsa bisa serupa. Meskipun memang ada tata kramanya sendiri, boleh dikatakan dalam lingkungan yang sama setara, beda usia tidak  jadi masalah untuk yang muda menggauli yang tua. Pun yang tua menggauli yang muda.

Coba bandingkan. Lihat waktu anda ke belakang. Gaul ala anak SD dan gaul ala anak SMA saja beda jauh. Padahal selisih usia Cuma 3-6 tahun saja. Lingkungannya beda, cara gaulnya juga beda.

Karena saya terbiasa berada di lingkungan om2 beraneka usia dari 20an, 30an, 40an hingga 50an, maka secara tidak sadar saya beradaptasi untuk berpembawaan seperti beliau2 yang sudah lebih dulu ada di kantor. Jadilah saya salah seorang dari mereka. Om-om. Di mata anak-anak SMA. Cih.

Oiya sedikit membahas isu hangat dengan harapan terlihat mutakhir, mari kita lihat lagi fenomena yang kini sedang viral. Gagal move on dari masa kecil kelewat bahagia (MKKB) oleh kaum 90an. Untuk tahun 2014, umat generasi inilah yang tidak mau ngaku tua tapi mengakui bahwa era kanak2nya telah lama lewat. Berganti era dengan kanak2 masa kini yang  jauh berbeda bentuk pergaulannya.

Sadarlah hey, anda sudah om-om! Umur 20-25 tahun bukan lagi saatnya berburu angpau dari pakdhe dan budhe, om!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun