Mohon tunggu...
Efron Dwi Poyo
Efron Dwi Poyo Mohon Tunggu... -

Fanatik FC Bayern München. Mia San Mia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus Sumber Waras: Menafsir “Niat Jahat” Alexander Marwata

5 April 2016   07:19 Diperbarui: 5 April 2016   15:53 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Kontra dagelan koplak oleh Ki Broto (Sumber: facebook.com/kibroto)"][/caption]Seperti yang sudah kita ketahui bersama beberapa hari lalu Alexander Marwata, komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memberikan keterangan pers mengenai status hukum kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (selanjutnya saya sebut RSSW) oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Penjelasan Alex kemudian dikutip oleh media dan beredar secara kejap ke pelbagai penjuru. Tekanan pemberitaan media adalah “belum ada indikasi niat jahat yang dilakukan oleh Ahok”. Tak ayal para pengamat hukum amatir dan netizen riuh merundung (bully) KPK sebagai “Komisi Pencari Niat Jahat Korupsi” dan lain sejenisnya.

Sangat boleh jadi keriuhan tanggapan di atas karena ada distorsi informasi yang disampaikan oleh awak media dalam menafsir keterangan Alex. Informasi terbelah-belah ibarat gema ini juga sukar saya pahami. Sebagai orang yang tidak pernah berkuliah di bidang hukum saya mencoba mengumpulkan informasi yang terbelah-belah itu menjadi suatu narasi. Membaca pada dasarnya adalah menafsir yang sudah dipengaruhi oleh prapaham (presupposition) si pembaca, kemudian saya menulis hasil tafsiran saya agar orang yang membaca untuk menafsirnya lagi. Saya sendiri adalah penganut (tepatnya peminat) penafsiran kritik-naratif.

Persoalan Audit BPK dan Tindak Pidana Korupsi

Hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus pembelian lahan RSSW oleh Pemprov DKI Jakarta  mengindikasikan terjadi kerugian keuangan negara sebesar lebih daripada Rp191 milyar. Atas dasar hasil audit BPK tersebut kemudian banyak pihak memaksa KPK untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka. Dalam pada itu komisioner KPK menyatakan sampai pada saat ini dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh KPK belum ada indikasi niat jahat yang dilakukan oleh Ahok atau pejabat Pemprov DKI Jakarta dalam kasus RSSW.  

Tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan kejahatan yang sejak awal diniatkan atau dikehendaki oleh pelakunya untuk bertindak tidak jujur dengan menggunakan jabatan atau kedudukannya untuk memeroleh keuntungan bagi dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi. Niat jahat atau kehendak bertindak tidak jujur atau berbuat kesalahan harus melekat pada diri pelaku tipikor. Sebagai ilustrasi seorang bendahara lupa atau lalai mengunci lemari brankas yang berakibat uang yang disimpan di dalamnya hilang dicuri. Bendahara ini tidak dapat dipersalahkan melakukan tipikor. Hal ini disebabkan bendahara tersebut tidak mempunyai niat atau kehendak atau tujuan untuk menghilangkan uang yang disimpannya. Sudah barang tentu bendahara ini melakukan kesalahan karena telah lalai. Bentuk hukuman bisa dilakukan oleh pemimpin instansinya berupa sanksi administratif berupa penggantian atau penundaan kenaikan pangkat atau pemecatan.

Dalam hukum pidana untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang tidaklah cukup hanya apabila orang itu sudah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Kendati perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, akan tetapi hal tersebut belum cukup memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang itu tidaklah cukup dilakukannya tindak pidana saja, namun juga harus memenuhi pula adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Prinsip ini sudah menjadi adagium atau maxim yang dianut secara universal dan telah menjadi asas dalam hukum pidana “Tiada pidana tanpa kesalahan” atau populer dengan bahasa Latin “Actus non facit reum, nisi mens sit rea”.

Dalam KUHP adagium tersebut tidak secara tegas tertulis. Namun demikian terdapat beberapa pasal KUHP yang tersirat mengakui berlakunya asas ini, yang antara lain pasal 44, 48 - 55 KUHP yang mengatur ketentuan-ketentuan tentang tidak dapat dipidananya seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang disebut dengan alasan-alasan peniadaan pidana. Sebagai ilustrasi seorang algojo yang menembak mati terpidana hukuman mati tidak dapat dipidana karena membunuh orang. Hal ini karena algojo tersebut menjalankan perintah jabatan. Sudah barang tentu tidak ada niat jahat algojo itu membunuh orang.

Dalam pada itu Undang-Undang No.4 - 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman asas “Tiada pidana tanpa kesalahan” terdapat pada pasal 6 ayat 2 yang tertulis “Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Berpautan dengan adagium di atas seseorang hanya dapat dijatuhi pidana bukan hanya karena seseorang tersebut telah melakukan perilaku lahiriah (outward conduct) melanggar hukum atau peraturan perundang-undangan yang harus dapat dibuktikan oleh seorang penuntut umum, tetapi juga pada waktu perbuatan itu dilakukannya orang itu harus memiliki kondisi jiwa yang disebut oleh Prof. Sutan Remi Sjahdeini sebagai sikap kalbu (state of mind) tertentu yang berhubungan secara langsung dengan perbuatan yang dilakukan orang tersebut.

Dalam ilmu hukum pidana perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, sedang keadaan jiwa atau sikap kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens rea. Actus reus merupakan unsur luar (external element), sedang mens rea merupakan unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element). Dengan demikian seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak dapat dipidana, meskipun terbukti telah menghilangkan nyawa orang lain.

Kasus RSSW

Dalam kasus RSSW meskipun ada indikasi kerugian negara, tidaklah serta merta hal itu merupakan akibat dari suatu tipikor. Hal ini secara serbacakup harus dilihat latar belakang atau motif yang mendasari pembelian lahan RSSW tersebut. Apabila pembelian lahan tersebut sejak mula diniatkan untuk memerkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan atau kedudukan Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta, maka Ahok dapat dipidana melakukan tipikor. Penyelewengan kewenangan atau kedudukan tersebut dilakukan dengan cara, misalnya, Ahok memerintahkan atau memaksa panitia pengadaan untuk membeli lahan RSSW dengan harga lebih tinggi daripada yang seharusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun