Metafor kebangkitan merupakan wacana yang disampaikan untuk mengundang pembaca atau pendengar mengalami realitas kehadiran seutuhnya (spiritual sekaligus fisikal) Yesus pasca-kematian di dalam dunia ini tanpa batas ruang dan waktu: di dalam rumah kita, di kantor kita, di istana presiden, di gedung DPR, di kantor kelurahan, di gedung gereja ketika umat menyembah dia, di dalam makanan, nasi, ikan asin, pempek, tempe, tahu, pete, pecel, gudheg, dan lain sebagainya serta minuman air (air kemasan, air sumur, air kendi, air PDAM) yang kita peroleh setiap hari sehingga kita berterimakasih, dan juga di dalam perjuangan orang-orang tertindas yang berseru kepada Yesus.
Meminjam pendapat sohib saya dan teolog mbeling Adji A. Sutama, yang panggah dengan teknik penafsiran kritik naratif, mengatakan bahwa metafor Yesus Gembala yang baik bukan berarti Yesus tidak ada. Demikian juga halnya metafor kebangkitan Yesus bukan berarti tidak ada kebangkitan. Kebangkitan Yesus merupakan peristiwa sejarah yang dilakukan Allah pada diri Yesus, bukan pada diri jemaat di dalam narasi PB. Setelah itu, apakah orang memercayainya atau tidak memercayainya, hal ini merupakan suatu reaksi atau tanggapan iman terhadap peristiwa bersejarah itu.
Selamat memeringati Jumat Agung dan merayakan Paska!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H