[caption caption="Foto: www.gloucestershireecho.co.uk"][/caption]
Di Indonesia liga sepakbola paling populer adalah EPL (English Premiere League) atau Liga Inggris. Hal ini wajar, karena hasil propaganda stasiun televisi. EPL menggusur popularitas Serie A atau Liga Italia yang sangat digandrungi pada masa-masa awal kelahiran RCTI. Walau EPL terlihat sangat meriah lewat televisi di Indonesia, tetapi sebaran EPL di dunia saat ini saya tidak tahu persis. Siaran Bundesliga disebarkan ke 210 negara/teritori (Lihat).
Nyaris setiap penggemar EPL yang saya ajak bincang kerap menafikan liga lain, apalagi ketika diajak berbincang mengenai Bundesliga. Bahkan dengan penyajian data pun bagi mereka EPL tetaplah yang paling menarik dan kompetitif (Lihat “Bundesliga paling atraktif di dunia, bukan di Indonesia”).
Dalam tulisan sebelumnya (seperti tautan di atas) saya menyajikan data sebagai galahukur untuk mengacu (model) liga yang paling atraktif. Meskipun Bundesliga saya sebut paling atraktif dengan merujuk (refer) data, di Indonesia sulit mengalahkan popularitas EPL di Indonesia dan bahkan La Liga dan Serie A. Dugaan saya adalah faktor bahasa. Mengapa demikian?
Saya mengamati orang Indonesia modern merasa bergaya dengan bahasa Inggris dan rumpun bahasa Latin (Italia, Spanyol, dan Portugal). Hal ini dapat kita simak penamaan tempat seperti mal, perumahan, dan kafe. Pada umumnya tempat-tempat itu menggunakan bahasa Inggris dan rumpun bahasa Latin. Tidak ada (setidaknya belum saya jumpai) yang menggunakan bahasa Jerman. Orang Indonesia akan merasa nyaman (dan tentu saja bergaya) menyebut nama-nama klub papan bawah seperti Swansea, Sunderland, Verona, Bologna, Malaga, Sevilla, Boavista, Braga, dan lain sebagainya. Akan tetapi nama-nama seperti Mönchengladbach, Augsburg, atau Darmstadt adalah barang asing yang tidak perlu diingat. Sudah barang tentu ini adalah dugaan subjektif saya.
Para penggemar EPL di Indonesia tentu saja mendaku EPL adalah liga paling atraktif dan paling kompetitif. Thomas Müller justru sebaliknya. Ia menolak tawaran menggiurkan dari Manchester United dengan alasan klub EPL tidak sanggup bersaing di Eropa (Lihat). Saya pun berpendapat hal yang sama dengan Müller. Kejatuhan EPL tinggal menunggu waktu saja. Saya mengatakan demikian dengan berkaca pada kejatuhan Bundesliga yang berakibat kejatuhan die Mannschaft yang dimulai hampir dua dasawarsa yang lalu.
Kejatuhan Bundesliga dan Dinamika Peringkat Atas UEFA
Sepakbola Jerman jatuh ke titik nadir pada Euro 2004 yang tidak lolos dari fase grup. Sungguh ironis. Penurunan prestasi die Mannschaft justru setelah menjuarai Eropa pada 1996. Memang Borussia Dortmund dan Bayern München menjuarai Liga Champions pada 1997 dan 2001, namun itu tidak merefleksikan kekuatan Bundesliga.
Akar masalah kejatuhan die Mannschaft adalah regenerasi yang seret pada klub-klub anggota Bundesliga yang lebih mengandalkan legiun asing. Terbukti pada akhir musim 2000/01 Bundesliga turun peringkat ke nomor empat berdasarkan atas nilai koefisien UEFA. Akibatnya sejak musim 2002/03 satu jatah tiket ke Liga Champions untuk Bundesliga dikurangi satu menjadi tiga tiket. EPL merangsek ke peringkat ketiga (batas peringkat jatah maksimum tiket Liga Champions) sehingga diganjar tambahan satu tiket Liga Champions menjadi empat tiket. Dunia berpaling ke EPL. Sponsor dan juragan minyak menggelontori EPL. Bundesliga tenggelam.
Tentu sudah banyak yang mengetahui bahwa DFB (Deutscher Fussball Bund – PSSI-nya Jerman) melakukan pembenahan secara radikal (dari kata radix yang berarti akar atau dasar) dan pun-pun (focus) pada klub-klub anggota Bundesliga. Saya sudah menulis tentang ini pada artikel “Mencari Pemimpin PSSI” (Lihat).
Di kala Bundesliga melakukan pembenahan radikal, EPL langsung tancap gas. Dampak pembenahan Bundesliga belumlah terlihat, karena masih berjalan landai pada awal 2000-an, bahkan turun ke peringkat kelima pada musim 2004/05. Selama empat musim Bundesliga berada di peringkat lima “yang memalukan”. Dalam pada itu Serie A mulai “kelelahan” dari kejaran EPL dengan “bahan bakar” nyaris tanpa batas dari juragan minyak. EPL merebut peringkat kedua koefisien UEFA dari Serie A pada akhir musim 2003/04.
Kebangkitan Bundesliga dan Gejala Kejatuhan EPL
Buah regenerasi pemain lokal Bundesliga mulai tersembul pada akhir musim 2008/09. Bundesliga naik satu tangga ke peringkat empat UEFA menggusur Ligue 1, Perancis. EPL melejit dan merebut peringkat teratas dari tangan La Liga satu musim sebelumnya.
Dalam pada itu UEFA secara tegas menerapkan Financial Fair Play (FFP) yang satu di antara aturannya adalah dana belanja pemain oleh klub tidak boleh lebih besar daripada pendapatan. Liga yang terkena dampak FFP paling terasa adalah Serie A. Kurangnya suntikan dana (bukan utang) dari sponsor dan pemilik klub membuat sejumlah klub besar menjual pemain-pemain bintang dan mencari pemain murah atau gratis (free agent) guna menyehatkan neraca keuangan klub.
Bundesliga yang pada awal 2000-an melakukan perubahan radikal paling diuntungkan dengan aturan FFP, karena membina banyak pemain muda lokal dan pemain muda berbakat dari Eropa Timur yang tentu saja murah. Sebut saja Mladen Petrić, Robert Lewandowski, Edin Džeko, dan Mario Mandžukić. Serie A yang sudah kelelahan akhirnya merelakan posisi ke-3 direbut oleh Bundesliga pada akhir musim 2010/11 sehingga sejak musim 2012/13 Bundesliga mendapat tambahan satu tiket menjadi empat ke Liga Champions. Hal sebaliknya untuk Serie A.
EPL yang makinjor-joran dalam pembelanjaan pemain dinilai pengamat makin ngawur menentukan harga pemain yang dibeli. Sepertinya klub EPL berlomba besar-besaran belanja pemain, tetapi acap didapati pemain yang dibeli dengan harga tak rasional itu tak-tergabungkan (uncompatible) dengan tim. Dengan kata lain terjadi inflasi harga. Akibatnya Klub EPL berkesulitan bersaing di Eropa seperti yang dikatakan oleh Thomas Müller di atas. Klub EPL terlalu “bermurah hati” menyetujui bandrol harga yang kelewat tinggi. Contoh terbaru: Kevin de Bruyne dibeli oleh City dengan harga sedikitnya €50 juta dari Wolfsburg, sedang Wolfsburg mendapat pengganti yang lebih baik pada diri Julian Draxler yang dibeli dari Schalke dengan setengah harga de Bruyne.
Setelah empat tahun EPL bertengger di peringkat teratas UEFA, pada musim 2012/13 EPL melorot ke peringkat kedua didongkel oleh La Liga. Sementara Bundesliga terus merangkak naik lewat konsistensi klub-klub yang berkiprah di kompetisi Eropa. Pada awal musim ini (2015/16) Bundesliga mengambil alih posisi EPL di peringkat kedua. Serie A yang mulai bangkit lagi dalam dua tahun terakhir sudah mengintai posisi EPL dari peringkat keempat.
Peringkat empat besar UEFA per 18 Februari 2016 sebagai berikut:
La Liga 96.713
Bundesliga 76.463
EPL 72.909
Serie A 69.605
Mari kita berhitung mengenai nasib EPL. Saya membuat dua skenario.
(1) Jika kompetisi Eropa berakhir sekarang, maka pada awal musim 2016/17 peringkat UEFA: La Liga 75.856, Bundesliga 61.213, Serie A 58.248, dan EPL 57.659. Dengan berasumsi musim 2016/17 hasil pemeringkatan adalah konsisten, maka EPL pada musim 2018/19 berkurang satu tiket ke Liga Champions.
(2) Jika pada musim ini Italia konsisten mendulang poin seperti musim lalu, maka pada akhir musim ini Serie A naik ke peringkat ketiga, sedang EPL turun ke peringkat keempat. Dengan demikian pada musim 2017/18 EPL berkurang satu tiket ke Liga Champions.
Pada awal 2015 saya mengunggah artikel pertama saya dengan judul “Mencari Pemimpin PSSI” di Kompasiana. Dalam artikel itu tidak ada cara lain untuk membenahi PSSI kecuali dengan membekukan PSSI. Ternyata benar! Sekitar dua pekan setelah tayangan artikel pertama saya itu PSSI dibekukan. Dengan dua skenario yang dipaparkan di atas saya meyakini skenario satu atau dua akan terjadi. Dua tiga tahun lagi EPL akan menghadapi kenyataan bahwa EPL dikurangi jatah tiketnya ke Liga Champions sehingga secara komersial kurang menjual. Dampak selanjutnya sponsor dan juragan yang berkepentingan dengan bisnisnya mengurangi gelontoran dana, bahkan hengkang dari EPL. Hanya dua tiga klub bertradisi kuat yang mampu bertahan.
Refleksi
Menurut pakar keuangan, Pribadi Agung Sujagad, di dalam EPL sudah bertaburan gelembung buih (bubbling) yang makin membesar yang tinggal menanti kepecahan gelembung buih itu. Kemeriahan EPL sebenarnya lebih pada parade artis asing yang bermain sepakbola, bukan parade atlet. Pada hakikatnya pembentukan sebuah liga untuk pengadaan tim nasional. Akan tetapi sponsor dan pemilik asing klub tidak peduli dengan pembinaan atlet lokal.
Data membuktikan prestasi Bundesliga sejalan dengan prestasi die Mannschaft. Demikian juga La Liga. Anomali terjadi pada EPL dan The Three Lions. Walau EPL berada di peringkat atas UEFA, nasib The Three Lions selalu tragis. Kita bisa menyaksikan pada perhelatan Piala Dunia 2014 Tim Tiga Singa ini tidak mampu lolos dari fase grup.
Fenomena Leicester City pada musim ini patut disyukuri. Lupakan sejenak klub-klub besar. Jika The Foxes menjuarai EPL, hal ini bukanlah kemenangan Leicester, melainkan kemenangan sepakbola. Leicester menebarkan pesan bahwa uang bukanlah segala-galanya dan uang tidak bisa membeli sepakbola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H