Mohon tunggu...
efriyan syah
efriyan syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jadilah diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memperoleh Pembiayaan dari Bank Syariah

14 November 2022   18:07 Diperbarui: 14 November 2022   18:11 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: gambar/ Bank syariah helm 169-174

Urgensi Meminjam Dana untuk Usaha

Dalam Islam, manusia diwajibkan untuk berusaha agar ia mendapatkan rezeki guna memenuhi kebutuhan kehidupan. Banyak ayat Al-Qur`an dan hadits Nabi saw. yang memerintahkan manusia agar bekerja. Yang dimana kita dapat bekerja apa saja, yang penting tidak melanggar garis-garis yang telah ditentukan Allah SWT. Contohnya seperti memproduksi pertanian, perkebunan, peternakan, pengolahan makanan dan minuman, dan sebagainya. Dan kita juga dapat melakukan aktivitas distribusi, seperti perdagangan; atau dalam bidang jasa, seperti transportasi, kesehatan, dan sebagainya. Untuk memulai usaha, kita bisa mengumpulkan modal terlebih dahulu. Dan ada pula yang meminjam kepada rekan-rekannya. Jika tidak tersedia, peran institusi keuangan menjadi sangat penting karena dapat menyediakan modal bagi orang yang ingin berusaha. Dalam Islam, hubungan pinjam-meminjam tidak dilarang, bahkan dianjurkan agar terjadi hubungan saling menguntungkan, yang berakibat kepada hubungan persaudaraan. Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila hubungan itu tidak mengikuti aturan yang diajarkan oleh Islam. Maka kita akan saling berpecah belah. Oleh Karena itu, pihak-pihak yang berhubungan harus mengikuti etika yang diajarkan oleh Islam, Seperti: Etika Meminjam Secara Islami.

Jika seseorang datang kepada bank syariah dan ingin meminjam dana untuk membeli barang tertentu, misalnya mobil atau rumah, suka atau tidak ia harus melakukan jual beli dengan bank syariah. Di sini, bank syariah bertindak selaku penjual dan nasabah bertindak selaku pembeli. Jika bank memberikan pinjaman (dalam pengertian konvensional) kepada nasabah untuk membeli barang-barang itu, bank tidak boleh mengambil keuntungan dari pinjaman itu. Sebagai lembaga komersial yang mengharapkan keuntungan, bank syariah tentu tidak mungkin melakukannya. Karena itu, harus dilakukan jual beli, di mana bank syariah dapat mengambil keuntungan dari harga barang yang dijual dan keuntungan dari jual beli dibolehkan dalam Islam (al-Baqarah: 275).

Lain halnya untuk keperluan usaha seperti bertani. Bank dan petani dalam hal ini dapat menyepakati kerja sama yang saling menguntungkan bagi mereka. Biasanya ada dua pilihan, yaitu menggunakan skema bai’ as-salam atau bagi hasil. Jika menggunakan bai’ as-salam, bank bertindak sebagai pembeli dan petani sebagai penjual. Bank membeli gabah dari petani dengan harga, kualitas, dan kuantitas yang disepakati saat diserahkan pada waktu yang akan datang, misalnya tiga bulan kemudian. Bank lalu membayar sesudah dilakukan perjanjian. Ketika jatuh tempo, petani berkewajiban untuk menyerahkan barang yang dibeli itu (gabah). Gabah itu bisa dijual lagi kepada pihak lain dan bank mendapat keuntungan darinya.

Jika usaha pertanian seperti di atas menggunakan bagi hasil, bank menyediakan modalnya, sedangkan petani menjadi penggarapnya. Keduanya harus menyepakati pembagian hasil sebelum petani memulai garapannya. Contoh lainnya adalah perdagangan. Karena dalam perdagangan umumnya ada perputaran dana, nasabah dapat mengajukan pembiayaan mudharabah. Bank dan nasabah dapat berbagi hasil/keuntungan dengan memperkirakan perputaran rata-rata omzet pada tiap bulannya.

Adapun Syarat Administratif secara umum untuk sebuah pembiayaan, seperti hal-hal berikut.

1.Surat permohonan tertulis, dengan dilampiri proposal yang memuat (antara lain) gambaran umum usaha, rencana atau prospek usaha, rincian dan rencana penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu penggunaan dana.

2.Legalitas usaha, seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat izin umum perusahaan, dan tanda daftar perusahaan.

3.Laporan keuangan, seperti neraca dan laporan rugi laba, data persediaan terakhir, data penjualan, dan fotokopi rekening bank.

Adapun Contoh-Contoh Perhitungan Praktis Bank syariah

1.Murabahah

Misalkan seorang nasabah ingin memiliki sebuah motor. Ia dapat datang ke bank syariah dan memohon agar bank membelikannya. Setelah diteliti dan dinyatakan dapat diberikan, bank membelikan motor tersebut dan diberikan kepada nasabah. Jika harga motor tersebut 4 juta rupiah dan bank ingin mendapat keuntungan Rp800.000,00 selama dua tahun, harga yang ditetapkan kepada nasabah seharga Rp4.800.000,00. Nasabah dapat mencicil pembayaran tersebut Rp200.000,00 per bulan.

2.Bai’ as-Salam

Seorang petani memerlukan dana sekitar 2 juta rupiah untuk mengolah sawahnya seluas satu hektar. Ia datang ke bank dan mengajukan permohonan dana untuk keperluan itu. Setelah diteliti dan dinyatakan dapat diberikan, bank melakukan akad bai’ as-salam dengan petani, di mana bank akan membeli gabah, misalnya, jenis IR dari petani untuk jangka waktu empat bulan sebanyak 2 ton dengan harga Rp2.000.000,00. Pada saat jatuh tempo, petani harus menyetorkan gabah yang dimaksud kepada bank. Jika bank tidak membutuhkan gabah untuk “keperluannya sendiri”, bank dapat menjualnya kepada pihak lain atau meminta petani mencarikan pembelinya dengan harga yang lebih tinggi, misalnya Rp1.200,00 per kilogram. Dengan demikian, keuntungan bank dalam hal ini adalah Rp400.000 atau (Rp 200 x 2000 kg).

3.Bai’ al-Istishna’

Seseorang yang ingin membangun atau merenovasi rumah dapat mengajukan permohonan dana untuk keperluan itu dengan cara bai’ al-istishna’. Dalam akad bai’ al-istishna’, bank berlaku sebagai penjual yang menawarkan pembangunan/renovasi rumah. Bank lalu membeli/memberikan dana, misalnya Rp30.000.000,00 secara bertahap. Setelah rumah itu jadi, secara hukum Islam rumah/atau hasil renovasi rumah itu masih menjadi milik bank dan sampai tahap ini akad istishna’ sebenarnya telah selesai. Karena bank tidak ingin memiliki rumah tersebut, bank menjualnya kepada nasabah dengan harga dan waktu yang disepakati, misalnya Rp39.000.000,00 dengan jangka waktu pembayaran 3 tahun. Dengan demikian, bank mendapat keuntungan Rp9.000.000,00. [4]

4.Al-Mudharabah

Seorang pedagang yang memerlukan modal untuk berdagang dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti mudharabah, di mana bank bertindak selaku shahibul maal dan nasabah selaku mudharib. Caranya adalah dengan menghitung dulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya, dari modal Rp30.000.000,00 diperoleh pendapatan Rp5.000.000,00 per bulan. Dari pendapatan ini harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian modal, misalnya Rp2.000.000,00. Selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank.[5]

5.Musyarakah

Pak Usman adalah seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek. Usaha tersebut membutuhkan modal sejumlah000.000,00. Ternyata, setelah dihitung, Pak Usman hanya memiliki Rp50.000.000,00 atau 50% dari modal yang diperlukan. Pak Usman kemudian datang ke sebuah bank syariah untuk mengajukan pembiayaan dengan skema musyarakah. Dalam hal ini, kebutuhan terhadap modal sejumlah Rp100.000.000,00 dipenuhi 50% dari nasabah dan 50% dari bank. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.

Seandainya keuntungan dari proyek tersebut adalah Rp000.000,00 dan nisbah atau porsi bagi hasil yang disepakati adalah 50:50 (50% untuk nasabah dan 50% untuk bank), pada akhir proyek Pak Usman harus mengembalikan dana sebesar Rp50.000.000,00 (dana pinjaman dari bank) ditambah Rp10.000.000,00 (50% dari keuntungan untuk bank).

6.Musyarakah Mutanaqishah

Nasabah dan bank berkongsi dalam pengadaan suatu barang (biasanya rumah atau kendaraan), misalnya 30% dari nasabah dan 70% dari bank. Untuk memiliki barang tersebut, nasabah harus membayar kepada bank sebesar porsi yang dimiliki bank. Karena pembayarannya dilakukan secara angsuran, penurunan porsi kepemilikan bank pun berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran. Barang yang telah dibeli secara kongsi tadi baru akan menjadi milik nasabah setelah porsi nasabah menjadi 100% dan porsi bank 0%. Jika kita mengambil rumah sebagai contoh kasus, perhitungannya adalah sebagai berikut. Harga rumah, misalnya, Rp100.000.000,00. Bank berkontribusi Rp70.000.000,00 dan nasabah Rp30.000.000,00. Karena kedua pihak (bank dan nasabah) telah berkongsi, bank memiliki 70% saham rumah, sedangkan nasabah memiliki 30% kepemilikan rumah. Dalam syariah Islam, barang milik perkongsian bisa disewakan kepada siapa pun, termasuk kepada anggota perkongsian itu sendiri, dalam hal ini adalah nasabah.

Seandainya sewa yang dibayarkan penyewa (nasabah) adalah Rp1.000.000,00 per bulan, pada realisasinya Rp700.000,00 akan menjadi milik bank dan Rp300.000,00 merupakan bagian nasabah. Akan tetapi, karena nasabah pada hakikatnya ingin memiliki rumah itu, uang sejumlah Rp300.000,00 itu dijadikan sebagai pembelian saham dari porsi bank. Dengan demikian, saham nasabah setiap bulan akan semakin besar dan saham bank semakin kecil. Pada akhirnya, nasabah akan memiliki 100% saham dan bank tidak lagi memiliki saham atas rumah tersebut. Itulah yang disebut dengan perkongsian yang mengecil atau musyarakah muntanaqishah atau disebut juga dengan decreasing participation dari pihak bank.[6]

7.Al-Ijarah

Bank syariah yang mengoperasikan ijarah dapat melakukan leasing, baik operational lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya, bank-bank syariah lebih banyak melaksanakan financial lease with purchase option atau ijarah muntahia bit-tamlik. Hal ini karena skema ini lebih sederhana dari sisi pembukuan dan bank tidak direpotkan oleh beban pemeliharaan Ditinjau dari hal tersebut, ijarah lebih sering dipakai untuk pembiayaan investasi dan customer loan.

Sebagai contoh, seorang nasabah yang sedang melakukan proyek pembangunan jalan raya, memerlukan alat-alat berat sebagai penunjang operasinya. Karena keberadaan alat tersebut hanya dibutuhkan pada saat dia sedang melaksanakan proyek, dia memutuskan untuk tidak membeli peralatan itu, melainkan menyewanya. Akan tetapi, jika ternyata alat-alat tersebut akan terus dibutuhkan dan dia kemudian memutuskan untuk membelinya, dia bisa melakukannya dengan ijarah muntahia bit-tamlik, yaitu menyewa peralatan tersebut dan pada akhir masa sewa, dia membelinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun