Kampung kami, sebuah gang kecil di tengah kota Salatiga, menjadi salah satu kampung yang terdampak pandemi. Akibat sekolah daring, seorang Ibu yang bekerja sebagai penjaga kantin di sekolah terpaksa memboyong isi kantinnya ke rumah. Namun, hal ini tidak memecahkan masalah karena sudah ada beberapa warung di kampung kami. Di kampung kami, ada seorang Ibu yang menjadi karyawati di sebuah pusat perbelanjaan. Meskipun gajinya berkurang selama pandemi, dia bersyukur karena tidak termasuk korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di kantornya.
Permasalahan di atas tidak lantas membuat suasana guyub rukun yang sudah terbina sejak lama menjadi porak poranda. Jika ada warga yang meninggal bukan karena Covid-19, warga langsung bergotong-royong, mulai dari mengurus jenazah, menggali kubur, memakamkan, merangkai bunga, hingga memasak untuk saudara jauh yang datang, Pandemi yang melanda selama setahun ini membuat tabungan beberapa warga habis untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, ketika tiba-tiba diuji dengan kematian salah satu anggota keluarganya, tak ada persediaan dana untuk menutup seluruh tetek bengek di atas.
Lantas, apa solusinya? Kami menggunakan dana jimpitan yang kami himpun dari warga sedikit demi sedikit.
Jimpitan berasal dari kata jumput atau menjumput yang artinya mengambil sedikit dengan dua ujung jari. Budaya jimpitan sudah ada sejak dahulu kala. Budaya ini sangat melekat bagi masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dahulu, jimpitan dilakukan dengan cara mengumpulkan sedikit beras yang disediakan oleh setiap warga secara berkesinambungan. Di depan setiap rumah, biasanya ada wadah kecil untuk menempatkan beras jimpitan. Besarnya jimpitan tergantung kesepakatan warga, misalnya tiga sendok makan atau secangkir kecil. Petugas pengumpul jimpitan akan datang ke setiap rumah untuk mengambilnya. Kegiatan mengumpulkan beras tadi bisa dilakukan tiga hari sekali, satu minggu sekali atau bahkan dua minggu sekali sesuai kesepakatan warga. Setelah terkumpul, beras jimpitan disimpan di tempat yang sudah disepakati, misalnya lumbung warga atau rumah ketua RT. Jika ada warga yang punya hajat atau meninggal, beras tersebut bisa dimasak bersama-sama.
Saat ini, bentuk jimpitan sudah lebih praktis, bukan lagi beras. Di kampung kami, jimpitan dirupakan dalam bentuk uang lima ratus rupiah. Pengumpulannya dilakukan setiap hari oleh petugas yang ditunjuk. Setiap KK wajib memberikan uang jimpitannya kepada petugas atau meletakkan pada sebuah wadah yang diletakkan di dinding depan rumah. Meskipun demikian, ada kebijakan yang untuk tidak mengikutsertakan warga yang sangat terdampak pandemi.
Uang yang dikumpulkan setiap hari ini diserahkan kepada ibu Ketua PKK untuk disimpan. Kegiatan jimpitan ini memang di bawah naungan PKK. Uang jimpitan nantinya bisa digunakan untuk membantu warga yang membutuhkan, misalnya untuk membeli suplai makanan bagi warga yang sedang melakukan isolasi mandiri karena Covid-19. Uang jimpitan juga bisa digunakan sebagai dana talangan untuk dana kematian warga. Apabila salah satu warga ada yang meninggal, dan keluarganya tidak mempunyai dana untuk pengurusan kematian, keluarganya bisa meminjam dari dana jimpitan untuk kebutuhan tersebut.
Sebelum pandemi, dana jimpitan kami gunakan untuk tambahan dana kegiatan tirakatan tanggal tujuh belas Agustus. Harapannya, warga tidak terlalu banyak mengeluarkan dana untuk kegiatan tahunan tersebut. Dana jimpitan juga pernah kami gunakan untuk persiapan lomba kebersihan antar kelurahan. Waktu itu kami membutuhkan beberapa tong sampah, cat, dan tanaman TOGA untuk taman di pojok kampung.
Dana jimpitan insyaallah tidak akan memberatkan warga, asalkan diambil sedikit demi sedikit dan berkesinambungan. Apabila ada petugas pengumpul jimpitan yang absen dan tidak ada yang menggantikan, jumlah yang dibayarkan akan dirangkap keesokan harinya. Coba dibayangkan ketika uang jimpitan tidak dikumpulkan selama satu atau dua minggu. Kemungkinan besar banyak warga yang mengeluh karena tidak semua warga berkemampuan ekonomi yang cukup. Jadi, kita butuh ketelatenan agar dana yang sedikit itu bisa menjadi bukit dan tidak ada keluhan dari warga.
Saat ini kami tidak lagi menggunakan wadah yang ada di dinding depan rumah untuk mengumpulkan dana jimpitan. Beberapa kali ada warga yang kehilangan uang jimpitan sebelum petugas mengambilnya. Akhirnya, diputuskan untuk mengetuk pintu rumah saja meskipun uang yang diambil hanya lima ratus rupiah. Jimpitan yang merupakan budaya dari kita untuk kita tersebut merupakan solusi yang sangat efektif untuk menggiatkan tabungan warga. Di masa pandemi ini, manfaat tabungan warga akan terasa sekali manfaatnya.
(Ed. Saheeda)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H