Usia koronavirus sudah menginjak satu tahun. Geliat new normal yang banyak didengungkan untuk mengembalikan kehidupan seperti semula sudah mulai terlihat. Begitu pun dengan sektor pendidikan. Pembukaan sekolah yang sempat tertunda sudah mulai direncakanan kembali. Meskipun terbatas, beberapa sekolah terpilih mulai melakukan pembelajaran secara luring alias tatap muka.
Begitu pun di Salatiga, kota kecil yang dahulu pernah menjadi markas militer Belanda ini, beberapa bulan lalu sempat mendapat predikat zona merah seiring dengan bertambahnya pasien terdampak positif COVID-19 secara masif. Namun, dengan berjalannya waktu, Salatiga juga mulai berbenah, termasuk dalam sektor pendidikan formalnya.
Beberapa sekolah yang jauh dari pusat kota sudah mulai menggerakkan anak didiknya untuk terus bersekolah meski tidak sehari penuh sejak beberapa bulan yang lalu. Pertimbangannya sangat mudah, bapak ibu guru tidak ingin anak didiknya lupa rasa sekolah, tentu saja harus sesuai prokes. Itu di desa. Mendekati bagian kota, pemerintah Kota Salatiga mengizinkan untuk anak didik yang sudah kelas enam, sembilan, dan dua belas untuk mencicip rasa sekolah lagi setelah satu tahun vakum sebagai persiapan ujian sekolah. Setelah perkara ujian sekolah selesai, beranjak ke sekolah terpilih untuk memulai mengadakan pertemuan tatap muka meskipun dalam rentang waktu yang terbatas. Mudahan-mudahan mulai tahun ajaran baru ini semua siswa di Salatiga bisa bersekolah kembali.
Mendengar rencana seperti itu, tentu saja anak-anak saya berteriak kegirangan. Lalu, siapa lagi yang senang? Tentu saja saya dan semua emak saya kira. Sudah setahun lebih saya vakum dari profesi sebagai macan ternak, mama cantik anter anak. Mudah-mudahan beberapa bulan lagi bisa beraksi kembali.
Pandemi ini sempat mengikis rasa sekolah anak-anak saya. Meskipun mereka tetap sekolah daring di rumah, tetapi tak urung mereka masih merasa masa pandemi adalah masa berlibur. Tulisan anak saya yang sekarang kelas dua masih belum rapi. Saya bayangkan mungkin kalau dia masuk sekolah selama setahun ini hasilnya akan tetap berbeda. Kedisiplinan mereka juga makin lama makin luntur. Awal pandemi dahulu mereka enjoy sekolah di rumah, tanggung jawab tugas sekolah dikerjakan secepat mungkin. Makin hari makin siang mereka mengerjakannya. Tentu saja ini butuh kemampuan saya untuk mengomel agar saya tetap bisa mengendalikan situasi yang makin kendor.
Namun, tak urung persiapan sekolah membuat saya juga pusing tujuh keliling. Ketika tiga orang anak saya yang duduk di bangku sekolah semua mencoba seragam lamanya, saya seperti melihat ada Hulk yang siap membesar. Aduh, setahun pandemi ini sudah melebar-tinggikan badan mereka. Sepertinya, mereka membutuhkan seragam baru semua tahun ini, termasuk Ragil saya yang menginjak usia PAUD, padahal rencana saya mau menabung untuk kebutuhan sekolah keempat anak saya nantinya. Saya pikir mereka pasti membutuhkan sepatu hitam baru yang sudah setahun tergeletak usang dan tidak cukup di kaki. Belum lagi kebutuhan buku dan alat tulisnya.
Meskipun begitu, kegembiraan saya tidak bisa ditutupi. Bagaimana tidak, meski dalam waktu yang masih singkat, me time saya ketika anak-anak sekolah berangsur bisa saya peroleh kembali. Mimpi saya untuk mendapatkan BB seperti sebelum pandemi semoga bisa terwujud dengan senam di rumah. Ternyata bukan anak-anak saja yang seperti Hulk, selama pandemi ini badan saya juga melar ke samping kanan dan kiri. Saya juga bisa masak dan mencoba resep kue kesukaan anak-anak, bahkan saya juga bisa melenakan diri di depan komputer dengan menulis.
Tidak kalah penting untuk ibu rumah tangga seperti saya adalah bertemu teman ketika di sekolah. Tidak hanya anak-anak yang mempunyai teman di sekolah, saya juga senang sekali bertemu para emak sesama "macan ternak". Kejenuhan selama setahun akan terobati. Jalan-jalan dan kuliner selama menunggu anak-anak sekolah bisa dijadwalkan kembali. Bagi saya, ini sudah menjadi hiburan karena profesi "macan ternak" itu penuh tantangan. Setelah persiapan bangun pagi, sarapan, dan tetek bengek anak-anak sekolah, para macan ternak semacam saya dihadapkan pada kondisi jalan yang macet akibat berangkat sekolah kesiangan dan bertabrakan dengan jam masuk kantor. Namun, di situlah seninya, ketika saya melihat jalanan menuju sekolah anak-anak yang lengang selama pandemi, tiba-tiba ada rasa miris sekaligus kangen kemacetan dan kebrutalan wajah-wajah yang tergesa-gesa berangkat kantor dan sekolah.
Membayangkannya saja sudah sangat menyenangkan, meskipun pada akhirnya saya sudah tidak bisa bersantai sedikit dan harus bangun lebih pagi agar jam enam pagi anak-anak sudah siap untuk sarapan. Belum lagi kebutuhan bekal sekolah. Masa percobaan setelah pandemi ini mengharuskan mereka membawa bekal sendiri. Buat saya tidak masalah karena sejak awal anak-anak memang saya biasakan membawa bekal sendiri. Namun, tak urung setelah libur lama membuat saya jetlag dengan tetek bengek persiapan sekolah mereka.
Yang jelas ketika sekolah sudah dimulai maka kehidupan menjadi normal lagi. Walaupun dengan waktu yang masih sangat terbatas dan protokol kesehatan yang ketat, lambat laun rasa sekolah anak-anak akan timbul kembali. Mudah-mudahan ketakutan kita ketika sekolah mulai dibuka tidak tampak. Anak-anak selalu sehat dan pandemi akan segera berlalu dengan makin banyaknya penerima vaksin di lingkungan sekolah.
Ayo sekolah lagi!