Sepanjang menyangkut tuduhan itu, menurut Azyumardi Azra para peneliti terbagi dua pula. Pertama, peneliti Barat seperti Winstedt, Johns dan Bariend, berpendapat bahwa ajaran dan doktrin Hamzah dan Syamsuddin sesat. Kleim ini mendorong Abdul Aziz Dahlan untuk membuktikan bahwa ajaran Syamsuddin dan gurunya Hamzah, bisa dipertanggungjawabkan secara teologis. Kedua, al-Attas, menyatakan bahwa sebenarnya ketiga pemikiran Hamzah, Syamsuddin dan Al-Raniri adalah sama, ia tidak menyebut ajaran Hamzah dan Syamsuddin sesat. Pada gilirannya al-Attas malah menuduh al-Raniri melakukan distorsi dan menyebarkan fitnah dan tidak memahami wujudiyyah. Asumsi al-Attas ini mengobsesi Ahmad Daudi untuk menjelaskan pada dunia bahwa al-Raniri punya logika pembenaran sendiri yang menurutnya wajar kalau ia menuduh Hamzah dan Syamsuddin sesat. Tapi menurut Azra al-Attas buru-buru mengklarifikasi pendapatnya dalam buku yang berjudul “A Comentary on the Siddiq al-Nur al-Din al-Raniri” terbit tahun 1986, berarti sesudah tesis Daudi terbit. Dalam karya tersebut al-Attas memuji al-Raniri sebagai orang yang dikaruniai kebijakan dan diberkati dengan pengetahuan yang orisinil yang berhasil menjelaskan doktrin yang keliru.
Tidak juga bisa dikatakan dengan munculnya al-Raniri yang mengkritik dan “membumi hanguskan” paham tasawuf falsafi, lantas paham ini lenyap dan punah. Berdasarkan penelitian Taufik Abdullah, setelah Sultan Iskandar Tsani wafat tahun 1642, tampil Syafiyatuddin Syah (1942-1975) permaisuri Iskandar Tsani yang menggantikannya. Diberitakan pada waktu itu Nuruddin al-Raniri meninggalkan Aceh sambil tergesa-gesa, menurut Bustan al-Salathin, seperti tercatat dalam diary opper-koopman Belanda, mangkatnya Iskandar Tsani memberikan kesempatan pada golongan moderat (Syamsuddin) untuk bangkit melawan arus intoleransi dan anti intelektual yang dilancarkan al-Raniri. Tampil pada waktu itu Syeikh Saifulrijal, ulama Minang, sebagai penasehat Sultanah atau ratu di Aceh dan menyebarkan pahamnya.
Jadi pada abad ke 16-17 M di Nusantara berkembang paham tasawuf falsafi yang bukan hanya di Aceh tapi di bagian wilayah lainnya di Nusantara. Meskipun ada usaha-usaha untuk menerapkan syari’ah – suatu yang tidak bisa dipisahkan dari lingkup Islam pada abad itu. Tulisan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin memberi dorongan pada kecenderungan ini, tidak bisa disimpulkan secara blak-blakan bahwa mereka mengindahkan syari’ah. Mereka telah membeirkan sumbangan pada kehidupan religio-intelektual kaum Muslimin abad ke-16 dan 17 M. (Penulis : Tenaga Pengajar Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H