Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tensi Pemilu Naik, Harga Beras Naik, Mampukah Elit Politik Bertindak Bijaksana?

23 Februari 2024   05:42 Diperbarui: 23 Februari 2024   07:50 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi harga beras naik. (Foto: KOMPAS.com/VINCENTIUS MARIO)

Pemungutan suara untuk pemilihan telah selesai. Sebagaimana diketahui, paslon Prabowo-Gibran memperoleh suara tertinggi versi quick count dari sejumlah lembaga survei.

Jika mengamati pemilu-pemilu sebelumnya, laporan quick count bisa menjadi acuan utuk mengetahui siapa pemenang dalam Pemilu. Hanya saja, publik tetap perlu menunggu hasil resmi dari KPU yang akan disampaikan pada bulan depan.

Tentu, pihak yang kalah dalam versi quick count tidak langsung menerima sampai pengumuman disampaikan. Namun, suara perlawanan mulai digencarkan.

Pembacaan politik Indonesia hari ini pun mulai berubah dibanding sebelum pemungutan suara. Capres nomor urut 03 Ganjar Pranowo yang berada di posisi terakhir perolehan suara versi quick count sekarang mengusulkan adanya hak angket DPR.

"Dalam hal ini, DPR dapat memanggil pejabat negara yang mengetahui praktik kecurangan tersebut, termasuk meminta pertanggung jawaban KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) selaku penyelenggara Pemilu," kata Ganjar dalam keterangannya, Senin (19/2/2024), mengutip laporan Kompas.tv.

Capres nomor urut 01 Anies Baswedan juga mendukung gagasan Ganjar supaya dewan mengajukan hak angket tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris TKN Prabowo-Gibran, Nusron Wahid, menilai usulan tersebut berlebihan.

Memang, dalam setiap pemilu, pihak yang kalah dalam perhitungan sementara melakukan perlawanan. Tidak semudah itu menerima langsung hasil pemilihan umum.

Hal yang menarik adalah kata "curang" diangkat kembali dalam perhelatan ini. Bertanya sampai kapan kata tersebut hilang dari pergelaran pemilu.

Kecurangan dalam pemilu adalah gambaran buruk dalam upaya membangun demokrasi yang sehat. 

Jauh di balik kata kecurangan, ada hal esensial yang sebenarnya harus diperbaiki bersama.

Suasana pasca pemilu selalu meningkatkan suhu politik. Entah itu pilkada atau pilpres, selama ini, hampir tidak ada situasi menggembirakan sepenuhnya setelah pencoblosan.

Tentu, pertanyaan yang muncul menjadi berbeda tergantung bagaimana kita memposisikan diri. 

Apakah paslon menerima hasil pemilihan? Jawabannya adalah iya, meski ucapan tersebut tidak langsung diberikan sampai mereka menerima hasil resmi KPU.

Di sisi lain, ada pertanyaan yang kurang bergaung padahal begitu penting.

Pertanyaan yang seharusnya diajukan adalah bagaimana meletakkan iklim demokrasi kita menjadi ruang untuk memperhatikan nasib rakyat?

Utamakan suara dan kebutuhan rakyat. Saya sangat yakin bahwa masyarakat tidak begitu peduli mengikuti politik pasca-pemilu.

Pemilu yang konon merupakan pesta demokrasi justru menjadi perayaan yang tampak mengganggu ketenteraman jasmani dan rohani.

Jika suasana ini diteruskan, kita akan selalu mencurigai setiap perilaku politikus merupakan jalan yang dibangun untuk memperoleh elektabilitas menjelang pemilu 2029.

Hal ini sangat mengkhawatirkan bagaimana agenda 5 tahun ke depan di mana pemerintah seharusnya menjalankan amanat konstitusi justru dianggap sedang bekerja untuk tujuan praktis: menghadapi pemilu 2029.

Ini sudah dimulai sejak pengajuan hak angket DPR yang sampai sekarang tidak banyak masyarakat tertarik menanggapinya secara serius.

Kenapa rakyat tidak lagi terlalu peduli? Karena persoalan di bawah sangat jelas dan terasa. Ini menciptakan kesenjangan antara penguasa dan masyarakat.

Media massa sebagai jembatan penguasa dan rakyat pun nyaris gagap. Konten yang diberikan tidak diharapkan publik saat ini. Masyarakat sedang menunggu kabar baik: harga beras turun. 

Tetapi, ketika pesan yang disampaikan tidak kunjung datang, maka kemudian membuka rasa apatis muncul ke ruang diskusi--sesuatu yang dapat menampilkan gambaran buruk demokrasi.

Sekarang, politisi memiliki urusan pragmatisnya demi mengamankan kursi kekuasaan, di sisi lain, masyarakat juga memiliki kepentingan yang sama pragmatisnya untuk mendapatkan sembako dengan harga terjangkau. 

Keadaan tersebut menjelaskan bagaimana kita semakin sulit mewujudkan nilai dan tujuan bersama.

Mau tidak mau, penguasa harus berani untuk bertindak lebih bijaksana. Jarak yang tercipta ini memberi kelelahan. 

Kita ingin bersatu. Tetapi realitas mengatakan, "tunggu dulu". 

Media sosial menjadi arena pertarungan yang tidak sedap untuk ditengok. Kita kebingungan membaca perilaku para elit politik.

Pada akhirnya kita sendiri yang berupaya memikirkan urusan perut. 

Tentu, bukan itu yang diharapkan. Dalam keadaan sekarang, kita membutuhkan jalan keluar yang lebih bernilai: bijaksana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun