Jika ditanya, apa perbedaan antara penulis profesional dan penulis amatir? Jawabannya, yang satu menjadikan dunia penulisan sebagai lapangan kerja, sementara yang terakhir untuk berbagi manfaat dan bersenang-senang.
Tetapi, dalam era digital sekarang, perbedaan di antara penulis profesional dan penulis amatir menjadi kabur. Penulis amatir pun dapat menghasilkan pundi-pundi dari tulisan yang ia ciptakan. Namanya benefit.Â
Benefit penulis amatir pun bisa mencapai Rp10 juta per bulan atau 2x UMR kuli tinta di Jakarta.
Itu dari segi pendapatan. Pasti dapat diperdebatkan. Yang sulit untuk dipungkiri adalah passion alias gairah.
Penulis profesional tidak boleh "masuk angin" dalam menghasilkan karya. Di bawah perusahaan, penulis itu harus bisa menghasilkan setidaknya satu karya dalam sehari. Ritme itu harus dijaga.
Sementara penulis amatir, ya, namanya juga menulis untuk bersenang-senang, tidak ada tuntutan serius.
Saya termasuk orang yang menderita "masuk angin" selama menulis di Kompasiana. Gejalanya mulai terasa sejak tahun lalu.
Awal mula masih rutin menghasilkan satu artikel per hari. Bahkan pernah juara di kompetisi Januari dengan perolehan views tulisan terbanyak.
Lama kelamaan, pekerjaan membuat saya harus menyingkirkan Kompasiana sementara waktu. Tidak ada waktu banyak untuk berpikir, mencari ide hingga mengetik di atas komputer.Â
Selama ini, saya lebih banyak mengulas tentang situasi politik, internasional dan pendidikan. Tulisan yang butuh kedalaman dan keluasan dalam menyampaikan pesan dan informasi.Â