Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Jika Kuliah untuk Cari Kerja, Pikir Ulang Jadi Sarjana

29 Maret 2021   16:19 Diperbarui: 1 April 2021   09:16 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahasiswa. (Foto: Andrea Piacquadio/Pexels) 

Apa alasan seseorang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi? Jawaban yang umum diberikan hampir terdengar seragam. Orang-orang berharap ia kelak bisa memperoleh pekerjaan layak dan berpendapatan tinggi.

Di sisi lain, dengan menyandang status mahasiswa, sang anak telah memberikan satu bentuk kebanggaan terhadap orangtua. 

Kebanggaan itu diteruskan kepada sanak saudara di kampung halaman untuk dibuatkan acara adat sebagai bentuk syukur.

Pandangan semacam ini terus bertahan dari generasi ke generasi. Saban tahun, murid berbondong-bondong mendaftarkan diri ke fakultas kedokteran, ekonomi, hukum, teknik, komunikasi dan jurusan-jurusan "besar" lain. Fakultas ini dinilai memiliki prospek cerah dan menjanjikan untuk masa depan.

Karena itu, tak aneh bila ada ketimpangan jumlah mahasiswa di jurusan "besar" dan "kecil". Semua orang bercita-cita membentuk dirinya sebagai orang sukses sehingga pilihan jurusan tak boleh ecek-ecek.

Namun, kebiasaan-kebiasaan tersebut lama-kelamaan menjauhkan orang dari budaya ilmiah. Ada perbedaan pandangan sukses menurut perguruan tinggi dan masyarakat di luar sivitas akademika.

Perguruan tinggi memiliki kewajiban menyelenggarkan triharma perguruan tinggi: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat.

Keberhasilan sivitas akademika tercermin ketika ia mengembangkan sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan karya yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Poin-poin tersebut termuat dalam UU Pendidikan Tinggi.

Tetapi memang ada perbedaan besar dalam memandang kampus hari ini. Makna tridharma perguruan tinggi terlihat direduksi seolah hanya melayani permintaan pasar. 

Poin pengabdian masyarakat, misalnya. Sebagian orang menganggap memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk kemajuan masyarakat terimplementasi dengan ia bekerja pada perusahaan.

Tenaga, ide dan keterampilannya terserap lapangan pekerjaan sehingga ia menilai sudah berkontribusi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat lewat karya-karyanya.

Pandangan demikian masuk akal. Ada banyak lulusan sarjana yang bekerja di perusahaan besar membantu roda perekonomian negara.

Yang selanjutnya terjadi adalah penyederhanaan makna. Orang pada akhirnya lebih menekankan "bekerja" sebagai implementasi memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk kemajuan bersama.

Orang-orang mungkin tertawa mendengar mahasiswa berkata tujuan ia kuliah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mbok, mikir kerja saja, negara sudah ada yang urus.

Kekeliruan ini terus dibiarkan dan seolah diamini oleh pejabat pemerintahan, ketika ada masalah datang, penyelesaiannya cenderung dilakukan dengan cara yang menyenangkan masyarakat meski sejumlah pakar menganggap cara tersebut tak tepat. Contohnya dapat ditemukan semasa pandemi Covid-19.

Pentingnya kehadiran negara

Ilustrasi mahasiswa. (Foto: Andrea Piacquadio/Pexels) 
Ilustrasi mahasiswa. (Foto: Andrea Piacquadio/Pexels) 
Pendidikan tinggi menuju jalan liberalisme. Ada kesan bahwa tujuan orang menempuh perguruan tinggi semata untuk memoles prestisius dirinya. Selain kesempatan untuk memperoleh lapangan pekerjaan, hal lain yang dikejar adalah gelar akademik supaya sah bersanding di antara namanya.

Saya teringat pada sebuah meme yang diunggah warganet Amerika dalam postingan yang membahas isu students loan dan peningkatan tajam biaya kuliah di sana.

Dalam meme itu, tertulis bahwa negara dahulu menyediakan pendidikan murah agar rakyatnya berkontribusi kepada negara. Tetapi sekarang negara menyadari bahwa orang-orang memanfaatkan pendidikan untuk keuntungan dirinya sehingga memasang tinggi biaya perkuliahan.

Meme tersebut mungkin dibuat untuk menghibur. Tetapi ini bisa digunakan sebagai refleksi terhadap pendidikan tinggi di Indonesia. Di mana kuliah memberi potensi keuntungan, di situ ada pertukaran yang pantas dilakukan.

Pandangan-pandangan di atas menganggap pendidikan adalah investasi untuk masa depan. Tentunya, investasi ini ditujukan untuk kesejahteraan diri sendiri, bukan untuk kesejahteraan masyarakat.

Karena itu, beberapa mahasiswa sejak awal sudah menaruh ekspetasi memperoleh return besar ketika menempuh bangku perkuliahan. 

Ia sudah mantap berpikir bahwa setelah lulus harus dapat bekerja di perusahaan ternama dengan posisi menjanjikan.

Inilah hasil dari liberalisasi pendidikan. Peran negara dituntut berkurang sehingga tak boleh mengintervensi ruang akademi. Padahal, Amerika pernah memanfaatkan perguruan tinggi untuk menciptakan teknologi menandingi kekuatan Uni Soviet saat perang dingin.

Artinya, kehadiran negara diperlukan dalam situasi saat ini untuk menjamin seluruh warga negara mendapat akses pendidikan, menjamin kebebasan akademik, bahkan jika perlu menyediakan kesempatan kepada mahasiswa setelah mereka lulus.

Ini bukan seruan memanjakan, daripada mahasiswa babak belur di sana-sini dihantam realita demi tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Masa melakukan pengabdian masyarakat harus membayar mahal uang kuliah? Logika-logika semacam ini yang cukup merusak nalar.

Bukan sesuatu yang umum bahwa masalah keuangan menjadi isu terbesar bagi mahasiswa. Jadi satu beban bertambah dengan beban lain akibat ekspetasi ke depan.

Sekarang apa yang terjadi kepada mahasiswa, ia harus memikirkan nasibnya sendiri-sendiri. Manakala ada kelompok lain yang merangkul mereka, baru keteteran lalu mengatakan mahasiswa disusupi paham ini dan itu.

Kesendirian sebenarnya sudah terlihat sebelum mahasiswa memasuki bangku perkuliahan. Murid SMA sejak awal sebelum mendaftar perguruan tinggi harus mencari sendiri informasi seputar kehidupan kampus. 

Tentu yang terpikirkan oleh siswa dan orangtua adalah jurusan yang bisa menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan terhadap si anak. Mereka juga bertanya kepada para alumni, tetapi poin yang disampaikan tentu tetap sama, peluang kerja.

Konsekuensinya, selain memikirkan peluang masuk dan biaya perkuliahan, adalah kurangnya informasi calon mahasiswa untuk beradaptasi terhadap budaya ilmiah. 

Maka di sini, saya berpandangan kelas persiapan perlu disediakan sebelum siswa memasuki perguruan tinggi. Sekarang, asalkan lulus UN dan memenuhi persyaratan, ia boleh mendaftarkan diri ke perguruan tinggi. 

Setelah itu, mahasiswa baru harus menghabiskan waktu dua semester untuk pengenalan kehidupan kampus yang menguras banyak tenaga.

Siswa harus memiliki bekal pengetahuan bahwa pendidikan sarjana memiliki tradisi penelitian ilmiah ketimbang mengakomodir tujuan praktis menyediakan lapangan pekerjaan. Jika yang diinginkan adalah keterampilan teknis, maka ia sebaiknya memilih pendidikan vokasi. 

Jadi, sebisa mungkin para sarjana dapat memfokuskan diri untuk menyelenggarkan tridharma, terutama memberikan pengajaran. 

Inilah yang semestinya return kepada masyarakat, terutama mereka yang tak beruntung menerima akses pendidikan tinggi memperoleh pengetahuan dari kampus. Terlebih saat ini, Indonesia menghadapi isu literasi dan popularitas yang cenderung berlawanan dengan akal sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun