Hasil referendum rakyat Swiss pada 7 Maret 2021 tentang perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) dengan Indonesia memberikan pelajaran penting untuk menyikapi perubahan dunia dalam memandang ekonomi dan hubungan internasional.
Meski mayoritas pemilih mengatakan "ya" pada Indonesia-European Free Trade Agreement CEPA (IE-CEPA), perdebatan yang terjadi sepanjang setahun terakhir memperlihatkan bahwa pegiat lingkungan hidup mampu memberikan daya tawar kuat untuk mempengaruhi paradigma fungsi ekonomi secara keseluruhan.
Melihat perolehan suara, hasil referendum menunjukkan sebanyak 1,4 juta atau 51,6 persen pemilih mengatakan "ya", sementara 1,3 juta atau 48,4 persen pemilih mengatakan "tidak" terhadap IE-CEPA. Selisih kedua suara sangat tipis.
"Saya mengucapkan selamat atas pelaksanaan referendum di Swiss pada 7 Maret 2021 terkait IE-CEPA, yang berjalan lancar dengan hasil positif. Pemerintah Republik Indonesia sangat menghormati proses demokrasi yang ada di Swiss, dan hasil referendum ini memberikan angin segar bagi implementasi IE-CEPA segera," kata Mendag M Lutfi dalam keterangan pers menanggapi hasil referendum.
Kemunculan referendum IE-CEPA memang tak terlalu mengejutkan mengingat pertentangan muncul karena adanya minyak sawit dalam kesepakatan. Bukan sodoran baru untuk melawan industri sawit.
Mengutip laman web swissinfo.ch (SWI), penentang FTA adalah serikat petani Uniterre dan petani anggur (winegrower)Â Genewa, Willy Cretegny. Lebih lanjut, mereka mendapat dukungan dari Partai Ekologi Swiss dan Sosial Demokrat.
Poin-poin keberatan kelompok penentang FTA dapat ditemukan dalam laman web stop-huile-de-palme.ch. Minyak sawit, tulis mereka, menyebabkan deforestasi, ancaman kebakaran hutan, pekerja anak dan penggusuran petani kecil dan masyarakat adat.
Mayoritas penolak berada di wilayah berbahasa Prancis
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pertentangan terhadap industri sawit cukup sering diperlihatkan di sejumlah negara Eropa.
Di Prancis, pada 2015 silam, Menteri Ekologi Prancis Segolene Royal menyerukan berhenti mengonsumsi Nutella dengan alasan dapat menghancurkan bumi sebab mengandung minyak sawit dan deforestasi.
Pada Agustus lalu, Dewan Negara Prancis menolak banding perusahaan minyak Total yang menentang keputusan pengecualian produk minyak sawit dari definisi biofuel yang mendapat insentif pajak. Sekarang, Total harus berhadapan dengan 6 asosiasi termasuk Greenpeace atas operasi biorefinery yang mengolah minyak sawit sebagai biofuel.
Sementara di Uni Eropa, mereka mengeluarkan kebijakan Renewable Energy Directive IIÂ yang menghapus secara bertahap penggunaan kelapa sawit hingga 0 persen pada 2030. Argumennya, sawit mengakibatkan deforestasi. UE juga mengenakan bea masuk imbalan terhadap produk biofuel sebesar 8-18 persen.
Menariknya, mayoritas pemilih yang mengatakan "tidak" terhadap IE-CEPA berada di bagian barat Swiss yang merupakan wilayah pemukiman penduduk berbahasa Prancis.
Sebagai contoh, di kanton Vaud, sebanyak 162 ribu (65,9 persen) pemilih mengatakan "tidak", sementara sisanya 84 ribu pemilih mengatakan "ya" untuk IE-CEPA. Kemudian Genewa, wilayah bersejarah yang juga basis bagi Willy Cretegny, hasil referendum menunjukkan 81 ribu pemilih (59.7 persen) memberikan suara "tidak" dan 54 ribu (40,3 persen) mengatakan "ya" untuk IE-CEPA.
Tak menutup kemungkinan penduduk berbahasa Prancis di sana lebih banyak memperoleh informasi sawit melalui media Prancis.Â
Di sisi lain, popularitas Partai Hijau Swiss (Parti ecologiste suisse/PES) mengalami peningkatan dalam pemilihan federal di wilayah bagian barat, terutama di Genewa. Jadi pandangan hijau memiliki pengaruh signifikan di sebagian wilayah Swiss.Â
Enviromentalisme dan ekologisme
Bagi Indonesia sendiri, tuduhan deforestasi telah berulang kali dibantah. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat perkebunan kelapa sawit di seluruh dunia hanya menggunakan 17,32 juta hektare. Jumlah tersebut hanya 6 persen dari total luas lahan perkebunan minyak nabati dunia seluas 278,2 juta hektare, laporan Republika 27 Maret 2019.
Kemudian pemerintah menganggap langkah Uni Eropa merupakan bentuk diskriminasi terhadap produk sawit Indonesia. Tetapi memang, dunia telah menaruh perhatian terhadap isu lingkungan hidup dan perubahan iklim yang ditawarkan sebagai pertarungan antar ideologi.
Mengira green thought (ekologisme) sebagai alternatif untuk menyeimbangkan kekuasaan, tetapi pada akhirnya mampu membuat pemerintah di banyak negara termasuk Indonesia kewalahan untuk meladeninya.
Landasan green thought dapat ditarik dari Andrew Dobson dalam buku Green Political Thought (2000). Ia mengemukakan bumi memiliki daya tampung (populasi), kapasitas produksi (sumber daya alam), dan kapasitas penyerapan (polusi) secara terbatas.
Ada batasan natural bumi terhadap pertumbuhan ekonomi dan populasi. Dengan kata lain, batasan terhadap pertumbuhan ekonomi juga batasan terhadap konsumsi. Tentu ada pertentangan atas pandangan ini mengingat perhatian utama adalah lingkungan sendiri.
Dobson membedakan environmentalisme (thinking green) dan ekologisme. Environmentalisme dipandang sebagai pendekatan manajerial terhadap masalah lingkungan dengan keyakinan bahwa masalah tersebut dapat diselesaikan tanpa perubahan mendasar dalam nilai atau pola produksi dan konsumsi saat ini.
Sedangkan ekologisme memandang keberkelanjutan mengandaikan perubahan radikal dalam hubungan manusia dengan dunia alamiah non-manusia dan melalui cara kehidupan sosial dan politik. Gerakan hijau pun sudah termanifestasi dalam partai politik yang ditandai dengan kehadiran partai hijau di negara-negara Eropa. Â Â Â
Bukan soal untung dan rugi
Kita menganggap perlawanan terhadap sawit dilatarbelakangi bentuk Eropa melindungi produk minyak nabati mereka. Hal ini diakui penggagas referendum Willy Cretegny. Ada kekhawatiran bahwa perdagangan bebas menekan petani bunga matahari dan rapeseed penghasil bahan minyak nabati di Swiss.
Dalam wawancaranya kepada SWI yang ditayangkan pada 11 Februari 2021, ia mengatakan perdagangan bebas memberikan akses ke berbagai macam barang dengan harga murah. Penghapusan tarif, katanya dapat menjadi alat untuk menguras keuangan masyarakat.
"Kita mengonsumsi lebih banyak dan lebih banyak lagi. Dan distorsi persaingan berarti seluruh sektor ekonomi lokal menghilang, di sini atau di manapun," kata Willy.
Ia menambahkan, penolakan mereka ditujukan untuk menghadirkan playing-field dan standarisasi yang selanjutnya memikirkan tentang lingkungan hidup. Willy memandang perjanjian perdagangan mesti menguntungkan kedua negara eksportir dan importir untuk memastikan ekonomi lokal dapat berfungsi.
"Saya sama sekali tidak kecewa dengan hasilnya," kata Willy Cretegny menanggapi hasil referendum mengutip CNNIndonesia. "Kami sudah menang sebelum hasil karena kami membuka debat."
Dari pernyataan tersebut, perlawanan terhadap sawit dan hasil referendum akhirnya tak mesti dipandang sebagai siapa pemenang dan yang kalah, siapa yang diuntungkan atau dirugikan.
Pemerintah Swiss pun mengatakan, memastikan standar produk sawit yang masuk sesuai dengan prinsip keberlanjutan.
Pembahasan yang mendebarkan walau ekspor sawit Indonesia ke Swiss terbilang kecil. Pada 2019, Indonesia mengekspor hanya 35 ton minyak sawit ke Swiss atau 0,1 persen impor total sebesar 23,9 ribu ton. Dengan adanya perjanjian ini, ekspor minyak sawit Indonesia secara bertahap akan mengalami peningkatan.
Lagipula, minyak sawit bukan satu-satunya komoditi yang dimasukkan dalam kesepakatan. Ada produk kakao, tekstil, kopi, dan produk lain dari Indonesia yang akan masuk ke Swiss, Norwegia, Liechtenstein, dan Islandia sekaligus menciptakan potensi besar UMKM untuk mengembangkan usahanya dari perjanjian tersebut.
Dan terpenting, perspektif baru tentang keberlanjutan terutama dari sudut pandang hijau mesti dibuka luas. Sebabnya, pegiat lingkungan dan pendukung gerakan hijau ini tak memiliki representasi resmi di parlemen.
Minimnya dialog terbuka terhadap pemikiran ini sebetulnya meletakan isu lingkungan menjadi tampak menyeramkan dan seolah menggaduhkan masyarakat. Padahal, ada pembahasan luas yang bisa dipelajari dari aktivitas mereka.