Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pelajaran Referendum Swiss, Pemikir Ekonomi dan Politik Perlu Sowan ke Aktivis Lingkungan

14 Maret 2021   12:12 Diperbarui: 16 Maret 2021   07:34 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil pemilihan federal di Genewa 2015 dan 2019. Partai Hijau Swiss (GPS/PES) ditandai bar hijau muda. (Sumber: wahlen.admin.ch/fr)

Ada batasan natural bumi terhadap pertumbuhan ekonomi dan populasi. Dengan kata lain, batasan terhadap pertumbuhan ekonomi juga batasan terhadap konsumsi. Tentu ada pertentangan atas pandangan ini mengingat perhatian utama adalah lingkungan sendiri.

Dobson membedakan environmentalisme (thinking green) dan ekologisme. Environmentalisme dipandang sebagai pendekatan manajerial terhadap masalah lingkungan dengan keyakinan bahwa masalah tersebut dapat diselesaikan tanpa perubahan mendasar dalam nilai atau pola produksi dan konsumsi saat ini.

Sedangkan ekologisme memandang keberkelanjutan mengandaikan perubahan radikal dalam hubungan manusia dengan dunia alamiah non-manusia dan melalui cara kehidupan sosial dan politik. Gerakan hijau pun sudah termanifestasi dalam partai politik yang ditandai dengan kehadiran partai hijau di negara-negara Eropa.      

Bukan soal untung dan rugi

Kita menganggap perlawanan terhadap sawit dilatarbelakangi bentuk Eropa melindungi produk minyak nabati mereka. Hal ini diakui penggagas referendum Willy Cretegny. Ada kekhawatiran bahwa perdagangan bebas menekan petani bunga matahari dan rapeseed penghasil bahan minyak nabati di Swiss.

Dalam wawancaranya kepada SWI yang ditayangkan pada 11 Februari 2021, ia mengatakan perdagangan bebas memberikan akses ke berbagai macam barang dengan harga murah. Penghapusan tarif, katanya dapat menjadi alat untuk menguras keuangan masyarakat.

"Kita mengonsumsi lebih banyak dan lebih banyak lagi. Dan distorsi persaingan berarti seluruh sektor ekonomi lokal menghilang, di sini atau di manapun," kata Willy.

Ia menambahkan, penolakan mereka ditujukan untuk menghadirkan playing-field dan standarisasi yang selanjutnya memikirkan tentang lingkungan hidup. Willy memandang perjanjian perdagangan mesti menguntungkan kedua negara eksportir dan importir untuk memastikan ekonomi lokal dapat berfungsi.

"Saya sama sekali tidak kecewa dengan hasilnya," kata Willy Cretegny menanggapi hasil referendum mengutip CNNIndonesia. "Kami sudah menang sebelum hasil karena kami membuka debat."

Dari pernyataan tersebut, perlawanan terhadap sawit dan hasil referendum akhirnya tak mesti dipandang sebagai siapa pemenang dan yang kalah, siapa yang diuntungkan atau dirugikan.

Pemerintah Swiss pun mengatakan, memastikan standar produk sawit yang masuk sesuai dengan prinsip keberlanjutan.

Pembahasan yang mendebarkan walau ekspor sawit Indonesia ke Swiss terbilang kecil. Pada 2019, Indonesia mengekspor hanya 35 ton minyak sawit ke Swiss atau 0,1 persen impor total sebesar 23,9 ribu ton. Dengan adanya perjanjian ini, ekspor minyak sawit Indonesia secara bertahap akan mengalami peningkatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun