Kami terpencar ke segala arah. Apa lacur, dua polisi berlari ke arahku. Aku sudah kehabisan tenaga tetapi tidak ingin tertangkap dalam keadaan bodoh. Tidak ada kata menyerah, aku berlari sejauh dan sesanggup yang kubisa.
Salah satu polisi rupanya menyamar sebagai intel berambut gondrong dan dekil, berdiri dekat di warung kopi. Jadi, tiga orang berusaha menangkapku. Intel itu berhasil menjangkau tanganku, tetapi belum sempat mencengkeram kuat sehingga sangat mudah kulepaskan. Rupanya, tangkisanku membuat badannya goyah dan ambruk, seketika itu aku mengambil kesempatan untuk menginjak kepalanya.
"Itu temanku!" kata polisi itu.Â
Tindakanku tersebut justru memancing rekan mereka bertambah banyak untuk mengejarku. Aku tidak punya pilihan, di ujung jalan masih ada harapan hidup.Â
Nafasku mulai tidak teratur. Dengan kemustahilan yang masih ada, aku memanjat pagar rumah salah satu warga dan mengitari pekarangan. Polisi itu tetap mengejar.Â
"Belakang, belakang dia ke belakang," kata satu polisi kepada rekan-rekannya.
"Cuma segini? Balik, nggak sanggup fisik kalian," kataku.
Rumah ini memiliki tembok yang membatasi pekarangan depan dan halaman belakang rumah. Di sana, tumpukan kayu bekas dan seng disejajarkan yang menjadi acuan untuk aku memanjat. Para aparat mencari jalan lain untuk menemukanku.
Tiba di halaman belakang, rupanya tempat ini menyambung ke pemukiman penduduk. Tanpa memikirkan apapun, aku terus berlari mencari tempat aman karena polisi pasti akan menemukanku. Salah seorang warga menyaksikan keletihanku dan membuka pintu untuk menyelamatkanku.Â
Orang itu berbaik hati tanpa peduli masalah yang bisa saja membuat dia terganggu. Setelah masuk, aku mengumpulkan udara untuk mengisi paru-paru yang mengempis karena kehabisan asupan. Mataku agak sayup bercampur kucuran keringat di wajah dan badan.Â
Langkah polisi itu terdengar di luar sementara aku tersenyum kecil membayangkan kesia-siaan mereka.Â