Berkat kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, separuh lebih penghuni bumi terhubung dalam interaksi di platform digital.Â
Asalkan perangkat, software dan jaringan menyala, maka luas dunia akan mengecil dan menyempit sebatas kemampuan tubuh untuk sanggup menjelajahinya dari tempat ia berdiam.
Semakin mudah orang terhubung, semakin banyak informasi harus dicerna dan dikelola. Karena itu, sering digaungkan era digitalisasi di satu sisi dikatakan sebagai disrupsi, sementara yang lain memandang sebagai kompetisi terbuka.
Namun, tak mungkin menyalahkan ketidakmampuan adaptasi orang-orang ke dunia digital sebagai penyebab tunggal disrupsi.
Jarang dipahami orang, kompetisi terbuka dan bebas telah banyak membentuk orang sebagai pemenang dan pecundang. Anda bisa menemukan contoh untuk mengkonfirmasi hal tersebut dari teman atau publik figur.
Pemenang dan pecundang melahirkan kaya dan miskin secara timpang. Fakta tak terlihat seperti apa adanya.Â
Ambil contoh media pada hari yang sama melaporkan kenaikan dan penurunan harta kekayaan Elon Musk dan Jeff Bezos.
Publik cukup tahu siapa orang terkaya di dunia, lalu pada berita berikutnya, media melaporkan bantuan stimulus Presiden Joe Biden untuk pengangguran dan orang-orang yang jatuh miskin akibat pandemi Covid-19.
Tentu media tak mengajak orang berkompetisi untuk maju mengikuti jejak sukses Musk dan Jeff melalui pemberitaan mereka.
Persoalan kekayaan menjadi fokus pembahasan di negeri Paman Sam. Pendukung Partai Demokrat dari kaum progresif, seperti halnya Bernie Sanders yang mahfum pada kompetisi justru menawarkan kenaikan pajak pada orang kaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Â