Ghosting adalah cara perilaku meninggalkan pasangan secara tiba-tiba tanpa memberikan penjelasan dan memutus semua jalur komunikasi.
Perlu diketahui, ghosting berbeda dari tindakan melarikan diri dari pasangan toxic. Ghosting lebih diartikan sebagai bentuk penghindaran.
Banyak orang mengalami dan melakukan hal serupa, termasuk penulis pribadi. Beberapa korban ghosting bisa memaklumi dan berbesar hati untuk menerima hubungannya kandas. Mungkin bukan jodoh.
Namun demikian, ghosting adalah cara buruk untuk mengakhiri hubungan. Mengapa demikian?
1. Pasangan menjadi cemas
Bagi pasangan yang di-ghosting, mereka kemungkinan akan mendapat perasaan cemas dalam jangka panjang di kemudian hari.
Sebuah studi mengenai strategi mengakhiri hubungan pada 1970-an, mengutip Huffington Post, menyebutkan bahwa penerima atau korban ghosting merasakan kerugian karena frustrasi melihat masa lalu dan mendapati diri dengan rasa malu ketika berada di lingkungan kerja atau keluarga.
Kondisi semacam ini pernah saya tulis sebelumnya di sini.
Vokalis Green Day, Billie Joe Armstrong dihantui rasa penasaran dan beribu tanda-tanya setelah di-ghosting kekasihnya Amanda pada 1994 silam. Kecemasan itu terus terbawa hingga pernikahan yang dituangkan dalam sejumlah lagu ciptaannya.
Baca juga: Ghosting Orang? Pecundang dan Nggak Keren
2. Kecenderungan menghindari konflik
Tidak hanya korban, pelaku ghosting pun bisa menerima kerugian karena merasa bersalah melakukan ghosting.
Ada beberapa alasan mengapa orang harus melakukan ghosting seperti khawatir mengecewakan pasangannya atau menghindari kemarahan pasangan.
Namun, masih dari sumber yang sama, semakin orang menghindari konflik, maka akan semakin besar kecemasan yang timbul dari waktu ke waktu.
Karena itu, komunikasi menjadi penting untuk menyelesaikan masalah dalam hubungan. Jikapun ada kesulitan untuk melakukan percakapan, hal ini bisa dimulai dengan terlebih dahulu berlatih bersama teman sebelum memulai kepada pasangan kamu.
3. Kekecewaan
Memutuskan hubungan memang sesuatu yang sulit. Salah satu di antara pasangan pasti akan merasakan kekecewaan.
Namun bukan berarti ghosting menjadi pembenaran karena membayangkan hasilnya tetap sama-sama putus. Mengakhiri hubungan harus diungkapkan kepada pasangan.
Dengan membicarakannya kepada pasangan, kamu telah melakukan keberanian dalam menghadapi konflik.Â
Keberanian tentu akan melawan sifat pengecut. Bahasa sederhananya adalah jadilah gentleman. Ini akan menjadi pelajaran dan modal untuk mampu mengatasi ketakutan dalam melewati konflik.Â
4. Persepsi buruk
Sebenarnya hal pertama yang timbul ketika di-ghosting adalah ketidaktahuan sama sekali akan apa yang terjadi, mengira semua berjalan normal padahal tidak.
Karena itu, ghosting bisa memicu pasangan untuk mencari tahu lebih dalam kondisi sesungguhnya. Saat dia tahu, reaksinya sudah barang tentu mengejutkan.Â
Dia mungkin tidak menerima hubungan berakhir. Kalaupun dia berbesar hati menerima kenyataan, timbul rasa penasaran.Â
Dia mungkin akan menghubungi orang-orang terdekat kamu. Sialnya, mereka juga sama sekali tidak tahu menahu sehingga cerita mulai melebar.
Di sisi lain, ada perasaan tidak nyaman karena merasa diteror tiap waktu. Tetapi konsekuensi liar semacam itu tidak dapat ditutupi akibat perilaku ghosting.
Semua terlambat, semua orang tampaknya sudah mulai terpapar oleh prasangka sehingga kamu harus memberi klarifikasi. Hal ini tidak perlu terjadi dan bisa dihindari andai kamu di awal mengucapkan atau mengkomunikasinnya kepada pasangan.
Baca juga: Alasan Australia "Legawa" Tak Dikirim Vaksin AstraZeneca dari ItaliaÂ
Sebagai hiburan, dengar juga lagu Green Day -Whatsername
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H