Mendengar itu, Pak Ahsan sempat diam sejenak seperti mencerna kebenaran ucapan Dodi, namun akhirnya pergi tanpa menginterogasi lagi. Sementara kami berjalan mengarah ke kantin di balik lapangan basket yang tertutup deretan pepohonan. Suasana terlihat sepi mengingat aktivitas terkonsentrasi di kelas masing-masing.Â
Tujuan kami tidak seperti yang dikatakan Dodi membeli kertas folio. Di sebelah bangunan kantin, terdapat satu jalan tikus yang terhimpit dua bangunan dengan parit di sekitarnya yang mengalirkan hasil pembuangan WC dan dapur kantin. Sepanjang jalan, bau sampah sisa makanan bercampur pesing menyemerbak ke udara. Tulang-tulang ikan, gumpalan nasi dan sambal berserakan, air parit keruh hitam.Â
Seluruhnya menutup hidung menggunakan telapak tangan, tetapi mengirupnya kembali ketika tiba di ujung jalan yang terhalang tembok setinggi kira-kira dua meter. Inilah rencananya, kami akan bahu-membahu untuk melewati tembok tersebut. Cabut dari jam pelajaran.Â
Kami melakukan perubahan meski harus ditempuh susah payah, hampir setiap hari. Dodi biasa melakukannya selama tiga tahun sejak resmi menjadi murid SMA, sedangkan aku baru menunaikan ini setahun terakhir dan kadang-kadang.
Sebagai ketua regu, Dodi mengambil giliran pertama memanjat. Jarak antar dinding tidak terlalu lebar, hanya setengah meter, cukup kecil dipanjat dengan kedua kaki. Setelah dua langkah merayap, kami membantu menyorong pantatnya hingga dia dapat menjangkau titik tertinggi tembok tersebut.Â
Begitu seterusnya sampai kesempatanku di paling akhir. Namun, kesialan muncul. Tiba-tiba, terdengar suara orang berjalan dengan sepatu bertapak keras. Itu pasti guru sedang melintas. Otakku langsung terpacu, harus segera kabur sebelum kepergok. Ilham yang duduk menanti kedatanganku di atas tembok juga mendengar suara langkah kaki itu. Dia sama paniknya.
"Buruan, woy!" katanya.
Dengan tergesa-gesa, aku menekan dua tembok, tapi ancang-ancang yang kupasangkan salah. Kontur tanah ini memiliki kemiringan sehingga kedua kaki harus mendapatkan posisi sejajar sebelum melompat. Itu tidak kulakukan, langsung hap dan karenanya posisi menjadi tidak seimbang, terpeleset dan sejurus kemudian jatuh.Â
"Asuuu..."
Parahnya ujung sepatu menyentuh permukaan parit. Cipratan air meluncur mengenai celana. Langkah kaki itu terdengar makin cepat mendekat mencari tahu apa yang terjadi di sini. Ilham kian kalut, karena egois memikirkan nasibnya sendiri, dia mencoba balik badan untuk lekas melompat keluar.
"Tunggu," kataku menggertak. Dengan percobaan kedua dan kepasrahan penuh tingkat tinggi, aku mengambil lagi langkah keburuntunganku. Kali ini, kaki diayunkan dengan lompatan sangat tinggi sebisaku, menempel, naik dan terus memanjat.Â