2. Buzzer perdamaian?
Saya mengutip pernyataan "...kalau kritiknya benar dan bahasanya tidak kasar, bisa mencegah kesalahan."
Masalahnya saat ini kebanyakan orang ketika berselancar di media sosial, dari kubu A, B sampai Z, tiap berkomentar hampir menyerempet bahasa kasar.Â
Dan ini selalu menjadi perdebatan, bagaimana batasan bahasa dikategorikan kasar?
Maksud saya begini Pak SBY, warganet sedang perang kata di media sosial. Di sisi lain, tidak semua ikut terlibat. Ada juga orang yang berposisi sebagai nice guys (orang baik), tidak ikut-ikutan tapi dalam hatinya penasaran ingin nimbrung karena gerah.
Saya pernah melakukan cara demikian, mencoba menyampaikan cuitan dengan bahasa-bahasa teduh untuk menenangkan peserta twitwar.
Yang terjadi, komentar balasan saya paling banter hanya diretweet satu akun. Sedangkan, komentar-komentar bersifat menyerang panen retweet dan komentar.Â
Dari sini, saya menyimpulkan, cara normatif tidak dapat memberi pengaruh apapun.
Apa kita harus membentuk buzzer perdamaian supaya mampu meredam perang kata dan menguasai media sosial?
3. Pilih obat atau gula?
Saya mengikuti alur cuitan Bapak. Bila di hadapan saya sekarang terhidang obat atau gula, tentu saya yang dalam kondisi sehat akan memilih gula.