Google adalah salah satu contoh bagaimana ia tidak perlu mengiklankan dirinya agar orang mengerti pentingnya era digitalisasi. Sebaliknya, orang-orang yang sekarang bergerak membesarkan namanya lewat kampanye yang menekankan pentingnya melek terhadap dunia digital pada lini kehidupan.
Gambaran serupa terjadi beberapa dekade lalu ketika media massa menghegemoni ruang publik. Media kala itu tidak mendaku bahwa manusia harus membaca koran untuk dianggap berwawasan.
Media pada zamannya menjadikan diri sebagai kiblat kebenaran dari segala isu yang beredar. Bila belum diberitakan media, berarti kebenarannya masih diragukan.
Saya ingat bagaimana saudara saya begitu bersemangat mencari namanya dalam daftar kelulusan CPNS dari halaman surat kabar. Semua pengumuman resmi dimuat dalam surat kabar. Baris iklan pekerjaan juga terpampang di surat kabar.
Itu kejayaan dahulu. Sekarang, media mulai merasakan pergeseran duniawi seiring kemajuan teknologi informasi.
Google telah mengalami kemajuan luar biasa dengan berjuta-juta informasi yang bisa diakses bebas dan mudah oleh semua orang, diikuti pula perkembangan Facebook, YouTube, Twitter dan pelbagai jenis media sosial lain dalam kurun waktu bersamaan.
Surat kabar, majalah, radio dan Facebook adalah media yang menjembatani orang dalam memperoleh informasi. Walau demikian, perkembangan dua langgam industri ini sudah timpang untuk diukur seimbang.
Mark Elliot Zuckerberg dan Larry Page telah mencapai kemasyhuran sementara media massa konvensional memutar akal menghadapi disrupsi.
Imbasnya, dalam satu dekade terakhir, beberapa perusahaan media menurunkan oplah surat kabar mengikuti penurunan jumlah pembaca mereka. Tidak cukup sampai di sana. Mereka juga mulai melakukan pengurangan jumlah halaman sampai pada pilihan pahit berhenti mencetak.
Perlahan, perusahaan media mengalihkan perhatian untuk menghadirkan berita ke ruang digital.Â