Terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat memberikan perubahan cukup besar terhadap kebijakan dalam dan luar negeri Amerika Serikat.Â
Salah satunya, Amerika kembali masuk ke Persetujuan Paris yang sempat ditarik keluar sewaktu pemerintahan Presiden Donald Trump.
Persetujuan Paris merupakan komitmen sejumlah negara untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim.Â
Ini akan mempengaruhi kebijakan perdagangan luar negeri Amerika Serikat. Lalu apa dampaknya terhdap industri sawit Indonesia?Â
Pembahasan ini menjadi bahan diskusi di Ngopini Sawit: Kebijakan Biden-Harris di Sektor Lingkungan dan Dampaknya Terhadap Indonesia, yang diselenggarakan Auriga Nusantara, 10 Februari 2021.
Untuk diketahui, Indonesia sudah meratifikasi Persetujuan Paris.
Wakil Ketua Umum Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup Kadin Indonesia, Halim Kalla, mengatakan Partai Demokrat yang menaungi Presiden Joe Biden sangat berfokus pada faktor lingkungan.
"Dengan kebijakan Biden yang lebih pro lingkungan, saya yakin ke depan ini, mereka akan lebih mementingkan lingkungan," kata Halim Kalla.
Ia menambahkan Kadin bersama pemerintah Indonesia saat ini sedang memajukan untuk mengeluarkan kebijakan bauran energi.
Tantangan ekspor sawit ke AmerikaÂ
Isu lingkungan memperhatikan juga persoalan ketenagakerjaan. Jadi, hal-hal seperti ini perlu menjadi atensi bila hendak menembus pasar Amerika.
Menurut Halim, apapun yang diekspor ke Amerika, pemerintah di sana melihat, "apakah produk yang you ekspor termasuk sustainable, bersih lingkungan dengan tenaga kerja yang sesuai kebijakan yang manusiawi intinya begitu," kata Halim.
Di samping itu, Amerika di bawah Biden akan fokus pada kebijakan labour right dan child labour. Sebagai informasi, perusahaan sawit terbesar Malaysia Sime Darby saat ini terkena larang eskpor ke AS karena isu ketenagakerjaan.
Peluang ekspor sawit ke Amerika
Ekpsor CPO Indonesia ke Amerika mulai mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 2015. Sebelum tahun 2015 total volume ekspor CPO hanya sebesar 100 ribu ton per tahun. Sedangkan, sampai tahun 2020 total volume ekspor Indonesia mencapai 1,2 juta ton per tahun.
Halim menjelaskan, faktor pengingkatan ekspor CPO ke pasar AS adalah kebijakan baru di bidang kesehatan. FDA USA melarang TransFat Acid (lemak trans) dan GMO (genetical modified organism) yaitu rekayasa genetika yang sangat berbahaya untuk kesehatan.
TransFat Acid ini ditemukan pada minyak olahan dari kedelai dan jagung. Sementara CPO, tidak sehingga menggantikan minyak olahan kedelai dan jagung.
CPO Indonesia bisa aman, akan tetapi menjadi tantangan pada produk biodiesel dari CPO Indonesia. AS memiliki kebijakan Noda EPA yang terbit pada 2012 silam. Halim mengatakan, CPO Indonesia tidak memenuhi standar CPO AS untuk penggunaan biodiesel dalam Noda EPA.
"Memang biodiesel ini berat karena persaingan tanam-tanaman. Produk biodiesel Indonesia terkena bea masuk 300 persen. Jadi CPO di sana digunakan untuk minyak goreng, biochemecial. Tapi kalau biodiesel, penggunaan CPO Indonesia masih terkena larangan," kata Halim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H