Dinihari kemarin, dengan mata yang sedikit mengantuk, saya melakukan panggilan telepon melalui WhatsApp kepada seorang senior di organisasi kampus dahulu, Gibran. Dia sekarang bermukim di Jerman dalam rangka melanjutkan studi psikologinya.
Percakapan saya kepadanya masih membahas mengenai orang-orang bule, berangkat dari kasus Kristen Gray yang beranjak viral di media sosial dalam tiga hari terakhir.
Bang Gib, sapaannya, ternyata tidak mengetahui kabar Gray ini padahal biasanya dia secara aktif memantau perkembangan berita dari Indonesia. Mungkin benar, orang ramai memperbincangkan Gray hanya karena sebarannya cukup terbatas hanya di media sosial.
Kabar baiknya, saya sekurang-kurangnya dapat menemui tanggapan objektif darinya dalam menilai fenomena bule yang umumnya mendapat perlakuan istimewa bak selebritas di Indonesia.
Dia memulai penjelasannya dengan merujuk kepada sejarah masa lalu ketika Indonesia dijajah oleh Belanda. Pendapatnya ini bersifat umum seperti yang dinyatakan sebagian pengamat.
Ketika saya bertanya apakah ini dapat diselesaikan dengan cara mengharuskan turis yang masuk berkantong tebal, dia sendiri tidak benar-benar setuju bila urusan ini semata dilihat semata sebagai turis 'kere' dan kaya dengan mempertimbangkan bagaimana sarana dan infrastruktur pariwisata di Indonesia yang mesti disiapkan untuk itu.
Percakapan kami meluas ke perkara politik, kebetulan dia berminat dalam mengulik politik negara. Di Jerman, sejarah itu ternyata dapat melekat kuat dalam ingatan kolektif masyarakat.
Dia mencontohkan bagaimana masyarakat Jerman sangat berhati-hati ketika menggunakan istilah 'nasionalisme'. Bahwa itu akan membawa pemikiran orang kepada eksistensi Nazi pada masa lalu yang kebablasan menjadi fasisme.
Keadaan sejarah nasionalisme di Jerman tentunya berbeda dengan negara-negara Asia. Roh nasionalisme di masyarakat Asia adalah dorongan untuk mencapai kebebasan dari penjajahan. Tanpa sikap nasionalis, sukar untuk membayangkan bagaimana jalan tempuh Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya.
Jerman saat ini didominasi oleh partai-partai Kristen dan Sosial. Kanselir Angela Markel adalah politisi Partai Demokratik Kristen (CDU).
Sebelum Merkel, kanselir Jerman adalah Gerhard Schroder yang berasal dari Partai Demokratik Sosial (SPD). Jadi, dua partai ini secara bergiliran memasukan kadernya untuk memimpin pemerintahan Jerman.
Namun demikian, Bang Gib berpendapat bahwa kedudukan politik Jerman pada dasarnya berada di tengah. Karena itu, kehadiran AfD, yang mempunyai orientasi nasionalis yang lahir pada tahun 2013 silam cukup mendapat perhatian umum.
Keberadaannya di pentas politik memang tidak sebesar dua partai di atas. AfD kini berposisi sebagai oposisi pemerintah.
Perbincangan telah meluas dari pokok, tetapi wacana ini paling tidak dapat mendekati bagaimana membangun persepsi kita terhadap bule dalam kaitannya sebagai 'yang lain' setelah mengetahui Jerman dapat melihat persepsi mereka dari sejarah masa lalu.
Walaupun sejarah mereka terlihat menakutkan, sebenarnya itu tidak lebih besar dari kesan baik solidaritas di antara warganya.
Bang Gib menjelaskan, ketika Jerman Timur dan Jerman Barat bersatu, warga kedua negara saling bahu membahu dan menolong. Bukan hanya soal solidaritas dalam meruntuhkan tembok Berlin.
Jerman Barat sebagai negara kaya turut membantu saudara-saudara mereka di Jerman Timur yang secara struktur ekonomi jauh tertinggal dari Jerman Barat.
Penetapan Berlin (Jerman Timur) sebagai ibukota negara adalah salah satu bentuknya. Di level masyarakat, solidaritas itu muncul dengan beragam bentuk bantuan warga dari Jerman Barat.
Itu berdampak sampai sekarang. Leipzig, yang sebelumnya bekas Jerman Timur, telah berkembang sebagai kota besar, diikuti Dresden. Dua negara yang terpecah setelah perang dunia kedua itu akhirnya bersatu melampaui ketakutan orang-orang dari mitos yang ditimbulkan dari perang dingin.
Jadi, dari sejarah yang panjang, selalu ada wacana yang membawa ke arah persaudaraan. Nampaknya kita perlu lebih sering berbicara mengenai narasi sejarah yang optimis.
Masa mesti kembali ke jurang masa lalu. Dan itulah yang dilakukan Jerman dan Kurzarbeit-nya dalam menghadapi tekanan ekonomi semasa pandemi Covid-19 karena mereka telah belajar dari pengalaman yang ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI