Menurut Irwan, pasal-pasal tersebut cenderung hanya mengatur ketika perbuatan telah terjadi (represif). Sedangkah langkah pemerintah dalam upaya mengamankan negeri supaya rakyat tidak terprovokasi karena hoaks merupakan tindakan preventif yang substansi belum diatur secara detil dalam undang-undang tersebut.
Ini memang menjadi problematik.Â
Di satu sisi media sosial memberikan banyak informasi kepada publik. Namun informasi yang diterima pun perlu dijamin validitas kebenarannya.Â
Bilapun harus diatur, Irwan berpendapat setidaknya ada dasar hukum untuk membatasi akses terhadap penggunaan fitur di medsos dalam undang-undang. Ini akan menjadi landasan hukum dalam rangka menjamin penghormatan terhadap kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi.
Situasi ini semakin kompleks karena di satu sisi media sosial telah menerbitkan kebijakan untuk melindungi komunitasnya.Â
Majunya media sosial pun sangat tergantung dari besaran keaktifan penggunanya. Aturan apapun yang terkait media sosial tentu dapat berdampak pada keberlangsungan platform mereka yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kondisi finansial mereka.
Apalagi jika perusahaan media sosial dapat dituntut secara hukum, ini bukan pilihan ideal bagi pemilik perusahaan manapun.
Ngomong-ngomong, pernah ngga, sih, kalian berpikir, apakah Twitter, Facebook, Instagram dan media sosial lainnya memiliki editor seperti admin Kompasiana mbak Widha Karina dkk yang mengamati satu per satu artikel yang masuk ke Kompasiana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H