Hujan memiliki manfaat untuk kehidupan manusia, salah satunya membantu penyiraman pertanian. Namun, segala sesuatu di dunia ini perlu diseimbangkan, termasuk curah hujan itu sendiri.
Contohnya, produksi garam sangat bergantung pada iklim dan cuaca.Â
Peneliti Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Tikkyrino Kurniawan dan Achmad Azizi, dalam artikel ilmiahnya (2012), yang dimuat situs LIPI, pernah mengurai hubungan hujan dan produksi garam yang berakibat pada keharusan Indonesia melakukan impor.
Produksi garam sangat bergantung pada panas matahari, angin, hujan, abrasi dan tanah timbul, serta gelombang pasang. Musim kemarau sangat dibutuhkan oleh petambak garam.
Jika terjadi perubahan iklim, maka dampaknya akan mempengaruhi perubahan kuantitas produksi garam. Hujan berpengaruh besar dalam proses kristalisasi garam, menurut penelitian Tikkyrino Kurniawan dan Achmad Azizi.
Iklim dan cuaca sangat menentukan dalam poses produksi garam sebab sebagian besar petambak memproduksi garam dengan cara tradisional.
Mereka mencontohkan kejadian pada tahun 2010 di mana hujan turun sepanjang tahun. Akibatnya, petambak garam tidak dapat melakukan produksi garam sama sekali. Â
Produksi garam nasional pada tahun itu pun turun menjadi 30,6 ribu ton. Jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan garam nasional.
Alhasil, pemerintah harus melakukan impor garam yang nilainya mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya menjadi 451.179 ton.
Selain impor, berhentinya produksi membuat pendapatan petani garam turun. Kurniawan dan Achmad Azizi mengatakan, meski petani garam tidak dapat berproduksi pada tahun 2010, ternyata banyak petani telah mengeluarkan biaya pengolahan tanah dan membeli peralatan.
Ibarat kata pepatah, besar pasak daripada tiang. Petambak garam di Kabupaten Sampang dan Sumenep, Madura, misalnya. Mereka bahkan harus menanggung utang kepada pemilik lahan.