Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan Akhir Tahun 2020: Kebebasan Dapat Menyebabkan Penularan Virus Corona (3)

20 Desember 2020   05:01 Diperbarui: 20 Desember 2020   05:39 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pandemi Covid-19. (Gambar: Omni Matryx/Pixabay)

Catatan akhir tahun 2020 jilid ketiga, menjelang sambut tahun baru 2021. Setelah awal tahun ini orang-orang menikmati masa-masa normal, kebebasan gerak dilucuti dengan kedatangan pandemi pada Maret 2020.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di Jakarta pada April 2020, juga di kota-kota besar lainnya sebagai konsekuensi bertambahnya kasus Covid-19.

Di Medan, satu di antaranya. Pada bulan yang sama, sejumlah ruas jalan utama di pusat kota ditutup dari pukul 09.00-15.00 dan 19.00-23.00 WIB.

Tujuannya untuk mencegah keluyuran para penduduk sehingga mata rantai penularan virus Corona dapa terputus.

Tetapi, itu kejadian dulu. Delapan bulan kalender berlalu, kenaikan kasus positif semakin nyata. Pada 19 Desember 2020, Pemko Medan merilis angka konfirmasi Covid-19 sebesar 8331 orang dengan sebaran warna merah memenuhi semua kecamatan di dalam peta.

Kasus sekarang tidak separah di masa-masa awal kemunculan Covid-19 yang tadi disebutkan, barangkali karena terbantu pembatasan keluar rumah sampai akhirnya meningkat beratus kali lipat dari laporan BPBD Sumatera Utara pada 30 April 2020 yang menyebut angka positif RT-PCR sebesar 117 orang di seluruh daerah.

Gejala serupa kota Medan ditemukan di kota lain, sebut satu contoh Jakarta yang pemberitaan kiri-kanan dari Ibu Kota ini memang sudah tidak asing.

Covid-19 disebut pandemi karena penularan virusnya sangat meluas dan cepat di wilayah dunia. Sejak kemunculannya, pandemi telah membangkitkan kekhawatiran, membayangkan diri sewaktu-waktu akan terjangkit akibat tertular virus corona melalui kontak fisik dan cipratan.

Orang-orang sedari awal pandemi mahfum pada perintah untuk waspada, tetapi tidak boleh takut. Virus ini dapat dilawan dengan cara elegan dan damai dengan hanya melakukan pencegahan, patuh pada protokol kesehatan: mencuci tangan, mengenakan masker dan menjaga jarak sosial.

Meski tidak begitu mengetahui ilmu epidemiologi, orang Indonesia merasa menjaga jarak secara sosial perlu ditambahkan menjadi pelebaran jarak atas segalanya dalam interaksi sosial. Tanpa ragu-ragu, orang mematuhinya dengan keyakinan untuk menghindari kerumuman dan gangguan kesehatan mental.

Demikian musim mudik tiba ketika pandemi memasuki bulan kedua, peraturan masih diperketat. Presiden Joko Widodo melarang perjalanan mudik Idulfitri kepada semua masyarakat, namun dengan kelonggaran bagi orang yang pulang kampung. Kali itu, sulit juga dipahami perbedaan antara mudik dan pulang kampung yang secara kontekstual tidak termasuk bagian mudik Idulfitri.

Walaupun aturan terkesan ketat dan kenyataannya tidak mencerminkan demikian--orang-orang tetap melakukan aktivitas di luar rumah--satu hal substansial untuk menyambut kebingungan itu adalah karena terbukanya ruang kebebasan.

Ketika seseorang bertanya, mengapa orang-orang berani berkumpul satu dengan yang lainnya, berlibur tanpa mengindahkan protokol kesehatan di tengah pandemi ini, jawaban yang memadai adalah orang menginginkan kebebasan. Tindakan dari kebebasan memberikan sensasi kesejukan bagi individu.

Kebebasan mengandung pengertian beragam sebagai kemerdekaan, bebas dari..., dan bebas untuk... Dan betapa menyenangkannya kebebasan! Ini bukan semata-mata karena dorongan ekonomi.

Akan tetapi dengan menyaksikan pandemi yang terus berjalan, tujuan dari kebebasan individual secara terang-terangan dapat merenggut nyawa orang lain.

Tetapi, kebebasan yang telah menghubungkan satu kematian dengan yang lain itu tidak perlu dianggap sebuah tindakan yang harus disalahkan mutlak. Orang harus butuh kebebasan, dan ia harus terlebih dahulu memikirkan kebebasan dari pandemi, tanpa dorongan itu, mustahil bagi para ilmuwan untuk bekerja keras mengembangkan vaksin.

Golongan lainnya menanggapi kebebasan dengan ungkapan berbeda dan sangat radikal menjungkirbalikkan dunia, dengan mengatakan pandemi sebagai konspirasi para globalis.

Mereka adalah orang-orang yang menolak bentuk pencegahan dengan rapid test, belum lagi orang-orang taat yang meyakini pandemi sebagai bentuk teguran Yang Maha Kuasa kepada manusia atas kesalahannya. 

Mereka adalah orang yang sama bebasnya dengan keraguan besar pada legalitas keilmuan dan kesahihan data untuk berbicara soal pandemi ini, seperti halnya pula Bill Gates, pendiri Microsoft yang saban kesempatan menuangkan pikirannya merenungi jalan keluar dari pandemi Covid-19.

Contoh lain yang berbeda tetapi berada dalam satu barisan adalah Presiden AS Donald Trump, dengan menegaskan pandemi virus corona akan 'hilang tanpa vaksin' yang dikatakannya pada 9 Mei 2020.

Tanpa bukti, dia meyakini semua orang bahwa bencana ini tidak akan muncul lagi, namun semua harapan membahagiakan itu menjadi sia-sia sampai akhirnya Amerika harus bertarung mati-matian melawan pandemi di negaranya.

Intelektual Noam Chomsky bahkan tidak ragu menyebut Trump sebagai pembunuh ratusan ribu orang Amerika meskipun kenyataannya ia harus berhadapan dengan mentalitas orang Amerika yang menyumbangkan 70 juta suaranya memilih Trump dalam Pilpres AS November 2020.

Begitu juga harapan yang disuarakan Presiden Jokowi ketika ia memerintahkan jajaran menterinya untuk bekerja keras memenuhi target penurunan kasus infeksi yang harus tercapai pada Mei 2020 dengan cara apapun. Kenyataannya menunjukkan hasil yang jauh dari harapan.

Kenyataan juga dalam sejarah manusia, kebebasan itu dapat mencelakakan dengan pembiaran-pembiaran, secara khusus kebebasan yang laissez faire telah menyebabkan kebangkrutan di AS pada masa depresi hebat di negara tersebut.

Akan tetapi, orang-orang sekarang berjuang untuk tujuan kebebasan kolektif sembuh dari penyakit dunia ini. Dalam waktu yang ada jelang akhir tahun ini, kebebasan terus berjalan dan tidak mungkin dikurung dalam penjara. 

Tengoklah di atas masing-masing kepala terbentang padang langit yang luas, tempat manusia melamun mencari ide, otak dari segala kebebasan. Tidak mungkin pula manusia memenjarakan langit karena dianggap mengganggu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun