Kampanye bernuansa agama memuluskan langkah Anies dan wakilnya Sandiaga Uno melanggeng ke Balai kota, sementara Ahok harus berhadapan ke muka hukum untuk mempertanggungjawabkan laporan penistaan agama dari ucapannya di hadapan masyarakat di Kepulauan Seribu.
Politik identitas itu terbentuk. Agama mendapatkan porsi terbesar dalam diskursus politik, menarik lebih banyak orang Indonesia untuk membedahnya. Tidak ada yang salah dalam memasukkan nilai religius dalam kepentingan politik.Â
Realita yang sangat luas ini mempersilakan itu semua, hanya saja tidak dapat dipungkiri dengan kejujuran hati bahwa kondisi itu dapat menghambat partisipasi luas masyarakat dari mereka yang berbeda agama.
Citra agama sudah terlanjur melekat kepada Anies Baswedan, nuansa yang sangat kontras manakala ia menjabat sebagai Menteri Pendidikan Indonesia dari 2014-2016 di periode pertama Presiden Jokowi.
Tiga tahun berlalu, Anies harus menangani masalah pandemi Covid-19, sakit yang telah menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dunia termasuk Sekretaris DKI Jakarta Saefullah pada 16 September 2020 lalu. PSBB sedari awal dibuat untuk membendung penyebaran virus antarmanusia meski sekarang pandemi masih bergentayangan.
Berita yang tidak terduga pun tersiar pada Selasa, 1 Desember 2020, memberitahu bahwa Anies Baswedan positif Covid-19, menyusul sang Wakil Gubernur Riza Patria beberapa hari sebelumnya. Â
Kabar itu disambut dengan ribuan tweet dengan beragam eskpresi terhadap dirinya. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melalui akun Twitter-nya menyampaikan dukungan semangat kepada keduanya dan berharap kesembuhan mereka.
Ungkapan lara dan bentuk dukungan disampaikan warganet lain yang tersiar tanpa menggunakan ekspresi keagamaan.
Dan di antara rimba-rimba cuitan, terdapat juga ucapan yang tendesi menunjukkan kebencian kepada Anies.Â
Cuitan tersebut sedikit, tetapi karena ia berada dalam ruang atau platform yang sama dengan cuitan menyejukkan, ini memperlihatkan ketimpangan dan menyisakan pertanyaan besar di bulan penutup tahun.Â
Momentum untuk memperbaiki iklim politik yang carut-marut akibat polarisasi bisa dirusak dengan kehilangan empati terhadap lawan yang tubuhnya sudah tidak berdaya.Â