Pengawasan menjadi pekerjaan penting yang harus ditingkatkan pemerintah dan masyarakat untuk mencegah munculnya perilaku korupsi di antara pejabat publik. Sebaik-baiknya manusia, ia mudah jatuh ke dalam dosa.
Hipotesis di atas tercetus ketika menganalisa singkat latar-latar yang berujung pada kasus dugaan suap terkait izin ekspor benih lobster yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. KPK telah menangkap dirinya bersama pejabat lainnya di Soekarno Hatta pada 25 November 2020.
Penangkapan Edhy Prabowo merupakan kabar mengejutkan. Selama ini ia sering menggaungkan kebijakan barunya soal ekspor benih lobster kepada publik.
Ada dua hal yang menjadi perhatian. Pertama, dugaan suap itu dilakukan di tengah sorotan masyarakat begitu luas memperhatikan dirinya. Tindakan yang menurut hemat saya cukup berani dilakukan sang menteri.
Kedua, adanya dugaan praktik monopoli dalam pengiriman logistik. Sebagaimana diketahui, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers usai penangkapan menyebut ekspor hanya dapat dilakukan melalui PT Aero Citra Kargo.
Sejauh ini, informasi mengenai alasan mengapa ekspor hanya di satu titik belum lengkap. KPPU juga masih mendalami dugaan ini.
Menempuh resiko
Dua peristiwa tersebut memperlihatkan kerentanan untuk membawa masuk sang menteri ke persoalan serius yang akhirnya mejeratnya dalam perkara korupsi.
Saya paham, seorang pemimpin memang perlu mengambil keputusan beresiko dan tidak populer untuk menuntaskan amanatnya selama pertimbangan itu tidak menimbulkan kerugian negara.
Lubang-lubang itu sebenarnya dapat dihindari melalui pengawasan dan pencegahan sedini mungkin secara internal maupun memperhatikan kritik dari luar. Ini menarik sekaligus memberikan kecurigaan kepada saya untuk mendalami kealpaan Edhy Prabowo yang menyebabkan 'kecelakaan' dalam mengambil keputusan.